Friday 25 September 2015

4 Syarat Poligami

4 Syarat Poligami
 
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam.
Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:
1- Seorang yang mampu berbuat adil
Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain. Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya.
Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3)
2- Aman dari lalai beribadah kepada Allah
Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)
3- Mampu menjaga para istrinya
Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah!
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4- Mampu memberi nafkah lahir
Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Orang semacam ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)
Demikian tulisan singkat tentang poligami. Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat-syaratnya. Jika anda merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.

Tuesday 22 September 2015

Nikmat Yang Nyaris Terlupakan.

Nikmat Yang Nyaris Terlupakan.
 
Seorang Syaikh berusia 80 thn mengalami infeksi pada
telinganya yang nyaris membuatnya tuli. Dokter
menyarankan untuk melakukan operasi atas telinganya supaya tidak kian menjadi tuli, dan syaikh itupun menerimanya.
Setelah operasi sukses, dan Syaikh itu bisa mendengar
kembali dengan jelas, maka datanglah tagihan biaya atas iperasi telinganya. Syaikh itu melihat tagihan
operasinya, tiba-tiba menangis. Dokter yang melihat sang Syaikh itu merasa iba dan mengatakan bahwa bila
tagihan itu terlalu tinggi maka ia akan membebaskan
biaya dokter.
Maka sang Syaikh menjawab: "Aku Bukan Menangis
Karena Uang Yang Akan Aku Keluarkan, Tapi Aku
Menangis Karena Allah Telah Memberiku Pendengaran
Yang Jelas Selama 80 Tahun, Namun Allah Tidak Pernah mengirimiku Tagihan."
Al-Hasyr : 19
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻧُﻮﺍ ﻛَﺎﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻧَﺴُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓَﺄَﻧﺴٰﻯﻬُﻢْ ﺃَﻧﻔُﺴَﻬُﻢْ ۚ ﺃُﻭﻟٰٓﺌِﻚَ ﻫُﻢُ
ﺍﻟْﻔٰﺴِﻘُﻮﻥَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Saturday 19 September 2015

Pacarmu Bisa Menuntutmu Di Akhirat ‪

Pacarmu Bisa Menuntutmu Di Akhirat
 

Wahai aktivis pacaran kenapa kamu lebih suka taat pada janji pacarmu dibandingkan pada janji Allah? Apakah pacarmu bisa membantu bebas dari siksa Neraka? Ga bakalan! Kalau dia sudah tiba di akhirat kelak, maka dia akan sibuk mengurus dirinya sendiri supaya selamat dari siksa Allah. Dapat dipastikan tidak akan mungkin dia mencari kamu dulu.
Bahkan mungkin pacarmu akan menuntut, karena kamu sudah menjerumuskan dia ke dalam dosa atas nama cinta. Boro-boro pacar menyelamatkan kamu, dirinya saja belum tentu selamat. Di akhirat, semua orang sibuk mengurus diri mereka sendiri, tidak ada yang sempat mengurus orang lain. Jadi meskipun kamu berteriak ‘aku cinta kamu’ sampai mulutmu berbusa, dipastikan pacarmu tidak akan pernah menolong.
Ini buktinya surat Al-An’am ayat 94:
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa`at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).”
Jadi BO-HONG kalau saat ini pacarmu bilang ‘cintaku padamu sehidup semati’. Karena diakhirat pacar kamu akan sibuk mengurus dirinya sendiri. Jangankan di akhirat, sekarang saja, misalnya kamu mati, dia tidak akan mau ikut mati. Bahkan dia akan mencari yg lain lagi. Tertipu kan kamu?

Sebab-Sebab Hati Menjadi Lembut dan Mudah Menangis Karena Allah

Sebab-Sebab Hati Menjadi Lembut dan Mudah Menangis Karena Allah 
 
1. Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
3. Banyak berdzikir kepada Allah
4. Memperbanyak ketaatan
5. Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau melihat jenazah orang
6. Mengkonsumsi makanan yang halal
7. Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
8. Sering mendengarkan nasehat
9. Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
10. Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
11. Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
12. Berdoa
13. Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri
(Al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi)

Thursday 17 September 2015

AKU SANGAT MENCINTAIMU YA RASULALLAH

AKU SANGAT MENCINTAIMU YA RASULALLAH
 
Ketika mereka mengajak utk melestarikan ajaran nenek moyang, aku memilih melestarikan ajaran yg engkau bawa, karena menurutku engkaulah NENEK MOYANGKU yg paling mulia... engkaulah nenek moyang yg paling kucinta.
Ketika mereka mengajak utk memuliakan kyai, sehingga seringkali mereka memelintir sabdamu agar sesuai dg perkataan kyai... aku lebih memilih engkau sebagai MAHA KYAI, kubenarkan semua sabdamu, dan kuterima dg apa adanya sebagaimana dipahami para sahabatmu... sungguh akan kuplintir perkataan siapapun yg menyelisihi sabdamu... karena sabdamu adalah barometer utk perkataan semua kyai, siapapun dia dan darimanapun asalnya.
Ketika banyak kalangan menyuruh atau bahkan mengharuskan utk menghidupkan tradisi dlm masyarakat... aku lebih memilih utk menghidupkan TRADISI yg kau bawa, tradisi yg telah diperaktekkan oleh masyarakatmu, para sahabatmu... memang tradisi yg tdk bertentangan dg tradisimu akan kutolerir... bukan aku membenci tradisi daerahku, tp karena aku lbh mencintaimu dan tradisimu melebihi siapapun, melebihi tradisi manapun.
Ketika mereka mengajak beribadah dg ritual sesepuh yg sudah mendarah daging... aku lebih memilih dan mencintai RITUAL ibadah yg kau ajarkan, tidak akan kutambah krn tdk mungkin aku atau siapapun lebih pintar darimu... dan tidak ingin kukurangi, krn itu akan mengurangi pahalaku... bahkan andai ritual ibadah sesepuh itu sudah mendarah daging pada diriku, aku rela utk mengganti darah dan daging itu, karena aku memang sangat mencintaimu, engkaulah SESEPUHKU yg paling sempurna.
Ketika banyak orang merasa bangga dg budaya barat, aku memilih utk bangga dengan BUDAYAMU, karena budayamu itu mengumpulkan kesucian, kemuliaan, kewibawaan, keindahan, kebahagiaan, dan sifat penyempurna lainnya... aku mencintaimu, oleh karenanya aku merasa bangga dg budayamu.
Saking besarnya cintaku kepadamu, aku ikrarkan sebagaimana perkataan para sahabatmu: "Demi engkau kurelakan bapak ibu kami sebagai tebusan".
Semoga Allah meneguhkanku di atas jalanmu dan para sahabatmu... merekalah para salafku... hanya dengan itulah aku pantas berharap; semoga nanti dikumpulkan bersama mereka, di dalam FirdausNya, amin.

Wednesday 16 September 2015

MENCINTAI KARENA ALLAH

MENCINTAI KARENA ALLAH
 
Sahabat,
Pernahkah berfikir kenapa kita dipertemukan?
Allah mempertemukan kita untuk satu alasan.
Entah untuk memberi atau menerima.
Entah untuk belajar atau mengajarkan.
Entah untuk bercerita atau mendengarkan.
Entah untuk sesaat atau selamanya.
Entah akan menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya.
Semua tidak ada yang sia-sia, karena Allah yang mempertemukan.
Hidup kita saling mengisi, bersinggungan.
Bisa jadi kehadiran kita adalah jawaban atas do'a-do'a sahabat kita, sebagaimana mereka pun adalah jawaban atas do'a-do'a kita.
Jika sudah menjadi takdir Allah, meski dengan jarak beribu-ribu kilometer kita tetap akan dipertemukan, dalam satu ikatan bernama UKHUWAH.
Disini, selalu membuatku ingin tetap tinggal, didalam hati dan do'a-do'a sahabat. Sampai detik ini kita hebat. Detik berikutnya semoga makin hebat.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
"Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, terdapat orang-orang yang bukan Nabi, dan bukan pula Syuhada. Tetapi para nabi dan syuhada cemburu pada mereka di hari kiamat nanti, disebabkan kedudukan yang diberikan Allah kepada mereka".
"Ya Rasulullah, beritahukanlah kepada kami, siapa mereka?"
Ujar sahabat: "Agar kami bisa turut mencintai mereka."
Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :
“Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Demi Allah, wajah-wajah mereka pada hari itu bersinar bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan mereka tidak sedih di saat manusia sedih.”
(HR. Abu Dawud)
Dalam Hadits lain disebutkan:
"Di sekitar Arsy Allah ada menara-menara dari cahaya, didalamnya terdapat orang-orang yang pakaiannya dari cahaya, wajah-wajah mereka bercahaya, mereka bukan Nabi atau pun Syuhada. Para Nabi dan syuhada iri kepada mereka".
Ketika ditanya para sahabat:
“Siapakah mereka itu ya Rasulullah?”
Rasulullah menjawab:
“Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling berkunjung karena Allah.” (HR. Tirmidzi)
Semoga kita adalah golongan orang-orang yang dicemburui oleh para Nabi dan Syuhada.
Semoga ukhuwah kita yang terjalin dilandasi oleh kasih sayang dan saling mencintai karena Allah.

JALAN MENUJU ALLAH

JALAN MENUJU ALLAH

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata :
Jalan menuju Allah adalah jalan dimana :
- Adam kelelahan…
- Nuh mengeluh…
- Ibrahim dilempar ke dalam api…
- Ismail dibentangkan untuk disembelih…
- Yusuf dijual dengan harga murah dan dipenjara selama beberapa tahun…
- Zakaria digergaji…
- Yahya disembelih…
- Ayub menderita penyakit…
- Daud menangis melebihi kadar semestinya…
- Isa berjalan sendirian…
عليهم السﻻم جميعا
Dan..
- Muhammad صلى الله عليه وسلم mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan…

Sementara kalian ingin menempuhnya dengan bersantai ria dan bermain-main?
Demi Allah takkan pernah bisa terjadi.

Tuesday 15 September 2015

CARA ALLÂH SUBHANAHU WA TA'ALA MENJAGA DAN MEMELIHARA AS-SUNNAH ?

BAGAIMANA CARA ALLÂH SUBHANAHU WA TA'ALA MENJAGA DAN MEMELIHARA AS-SUNNAH ?
 

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Sebagai seorang Muslim kita wajib meyakini bahwa semua yang ada dalam al-Qur'an itu adalah haq, baik berupa kabar maupun janji-janji dan ancaman. Termasuk diantaranya adalah janji Allâh Azza wa Jalla untuk menjaga keaslian agama ini, dengan menjaga keaslian sumbernya yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya [al-Hijr/15:9]
Penjagaan terhadap al-Qur’ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .-red
Kita sudah meyakini hal ini, namun terkadang ada pertanyaan yang dimunculkan oleh orang-orang tertentu dengan berbagai maksud dan tujuan. Diantara pertanyaan itu, "Bagaimana cara Allâh menjaga dan memelihara as-Sunnah ?" Jika pertanyaan ini dilontarkan kepada saya, maka saya akan memberikan jawaban yang sangat mendasar sekali dari para Ulama’ ialah :
Pertama : Allâh Azza wa Jalla telah memberikan kepada umat ini sebuah ilmu yang sangat besar lagi sangat agung yang telah menjadi kekhususan bagi umat ini. Karena memang Allâh Azza wa Jalla tidak pernah memberikanya kepada umat umat sebelum umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ilmu ini menjadi kemuliaan secara khusus bagi umat ini. Ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu sanad atau isnad. Sebuah ilmu untuk mengetahui secara bersilsilah atau berantai jalanya orang-orang yang meriwayatkan suatu riwayat dari fulan ke fulan dan seterusnya. Sehingga dengan sebab isnad dapat dibedakan dengan jelas dan terang antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; Antara yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan yang disandarkan kepada selain beliau n seperti yang disandarkan kepada para shahabat atau tâbi’în atau tâbi’ut tâbi’în dan seterusnya. Apabila sebuah riwayat tidak ada sanad atau isnadnya maka para imam ahli hadits seperti Bukhâri dan lain lain akan menolaknya dan tidak mau menerimanya. Dan mereka mengatakan bahwa riwayat ini tidak ada asal asulnya dan dimasukkan ke dalam golongan hadits-hadits palsu.
Oleh karena itu dahulu para Ulama’ kita mengatakan – dan perkataan mereka ini merupakan kaidah yang sangat besar dalam Islam tentang ilmu riwayat atau naql. Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan :
اْلإسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Isnad itu bagian dari agama. Kalau sekiranya tidak ada isnad, niscaya siapa saja dapat mengatakan apa saja saja yang ia mau katakan [Riwayat Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîhnya]
Ya benar, kalau sekiranya tidak ada isnad, pastilah siapa saja dapat mengatakan apa yang dia mau katakan. Jika demikian, kita pasti tidak dapat membedakan mana yang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan ? Manakah riwayat-riwayat yang sah dan manakah riwayat-riwayat yang lemah atau sangat lemah atau bahkan palsu ?
Kemudian, siapakah yang meriwayatkannya ?Apakah yang meriwayatkannya orang-orang yang terpercaya dalam masalah agama dan ilmunya ? Ataukah riwayat itu datang dari orang-orang yang fasiq, atau dari para pembohong yang biasa berbohong, atau dari para pemalsu hadits yang dengan sengaja memalsukan hadits atas nama Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seterusnya dalam segala cabang ilmu yang sampai kepada kita dengan jalan berita atau riwayat. Semuanya terjawab dengan ilmu yang mulia ini, yang menjadi kekhususan bagi umat ini. Oleh karena itu, ilmu hadits dan ahli hadits demikian mulianya. Namun sedikit sekali orang yang mengetahuinya, mempelajarinya dan mengajarkannya sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Bukhâri amîrul Mukminîn fil hadits dalam sebuah perkataan emasnya yang akan datang insyâ Allâhu.
Kedua : Allâh Azza wa Jalla telah memberikan ilmu hadits yang sangat besar dan sangat mulia kepada sebagian Ulama kemudian membangkitkan mereka untuk memeriksa setiap riwayat atau hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Merekalah, para imam ahli hadits yang sangat terhormat dan mulia kedudukan mereka dalam Islam. Karena merekalah yang dimaksud oleh Nabi yang mulia n atau yang mengambil bagian terbesar dari yang dimaksudkan beliau thâ’ifah manshûrah. Madzhab mereka terkenal dengan madzhab ahlu hadits, baik secara aqidah maupun fiqh dan seterusnya. Karena yang mereka ikuti tidak lain melainkan sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila hadits yang sampai kepada mereka telah sah, maka itulah madzhab mereka sebagaimana telah ditegaskan oleh imam Syâfi’i rahimahullah , salah seorang pembesar ahli hadits yang dijuluki sebagai nâshirus sunnah (pembela sunnah). Apa yang saya katakan ini pada hakikatnya adalah perkataan para Ulama’ kita yang dahulu sebagaimana yang telah di tegaskan oleh imam Bukhâri t dalam sebuah perkataan emasnya, "Kaum Muslimin yang paling utama ialah seorang yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mati. Maka bersabarlah wahai ahli hadits , semoga Allâh merahmati kamu, karena sesungguhnya (jumlah) kamu adalah yang paling sedikit di antara manusia" [1]
Seorang penyair pernah mengatakan tentang ahli hadits (yang artinya) :
Sesungguhnya kami dahulu menghitung mereka (ahli hadits) sangat sedikit sekali.
Maka seseungguhnya sekarang mereka lebih sedikit dari yan paling sedikit”
Oleh karena itu di bawah ini saya ingin menerangkan sebagian dari para ahli hadits, yaitu ahli jarh wat ta’dîl, yang perkataan mereka menjadi dasar dan hujjah yang kuat. Kemudian dari mereka, kita mengetahui mana rawi yang tsiqah dan dha’îf dan seterusnya.
Diantaranya seperti Sa’îd bin Musayyab, Sa’îd bin Zubair, Abdurrahman bin Hurmuz yang terkenal dengan nama al-A’raj, Abu Shâlih Dzakwân as-Sammân, Hasan bin Abi Hasan yang terkenal dengan nama Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Anas bin Sirin, Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi yang namanya Rufai’ bin Mahrân, Mâlik bin Dinar, Amir bin Syarâhîl yang terkenal dengan nama asy-Sya’bi, Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Aswad yang terkenal dengan nama Ibrahim an-Nakhâ’i, Masrûq bin al-Ajda’ bin Mâlik, Rabi’ bin Hutsaim Abu Zaid, Hammad bin Abi Sulaiman, Sa’ad bin Ibrahim az-Zuhri, Muhammad bin Muslim az-Zuhri yang terkenal dengan nama az-Zuhri atau Ibnu Syihab, Ayyub bin Abi Tamimah as-Sakhtiyâni yang terkenal dengan nama al-A’mâsy. Mereka semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’în, baik tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi'în besar) seperti Sa’id bin musayyab; Atau tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’în yang sedang atau tengah-tengah) seperti Hasan al-Bashri; Atau tâbi’în dari thabaqah shughra (tingkatan tâbi’în yang kecil) seperti al-A’masi.
Kemudian thabaqah yang sesudahnya seperti Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan bin Said ats-Tsauriy yang terkenal dengan nama Sufyan ats-Tsauriy atau ats-Tsauriy saja, Abdurrahman bin Amr al-Auzâ’i yang terkenal dengan nama al-Auzâ’i, Mâlik bin Anas yang terkenal dengan nama Mâlik bin al-Imâm, Husyaim bin Basyîr, Sufyân bin ‘Uyainah, Yahya bin Said al-Qahthân, Abdullâh bin Mubârak, Waki’ bin Jarrah, Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i dan yang selain mereka banyak sekali. Semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’ut tâbi’în, baik tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi’ut tâbi’în besar) seperti Sufyân ats-Tsauriy dan Imam Mâlik; Atau tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang sedang atau tengah-tengah) seperti Sufyân bin ‘Uyainah; Atau tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah shughra (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang kecil) seperti Imam asy-Syâfi’i.
Kemudian thabaqah yang sesudah tâbi’ut tâbi’în, yaitu yang mengambil hadits dari tâbi’ut tâbi’în, mereka tidak bertemu dengan Tâbi’în, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ali bin Abdullah bin Ja’far al-Madîni yang terkenal dengan nama Ali bin Madini, Yahya bin Ma’în, Abdurrahman bin Ibrahim ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Duhaim, Ishaq bin Ibrahim ar-Râhuwaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Amr bin Ali al-Fallâs dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudahnya yaitu yang mengambil dari mereka seperti Muhammad bin Ismail al-Bukhari yang terkenal dengan al-Imam al-Bukhari, juga Imam Muslim, Abu Zur’ah ‘Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Râzi, Muhammad bin Idris Abu Hatim ar-Râzi, Abu Dawud dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ibnu Mâjah, Abu Ya’lâ al-Maushiliy dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Khuzaimah, Ibnu Jarîr ath-Thabari, ad Dulâbi, Zakariya bin Yahya as-Sâji, Ibnul Jârud dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaiu ath-Thahâwi, al-‘Uqaili, Ibnu Abi Hâtim dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Hibbân, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Adi dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu ad-Daraquthniy, al-Hâkim, Ibnu Syâhin dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu al-Baihaqi, al-Khathîb al-Baghdadi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian Imam Ibnul Jauzi, Imam al-Mundziri, Imam an-Nawawi, dan yang selain mereka banyak sekali [2].
Kemudian Imam al-Mizzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabi, al-Birzâli, Ibnu Qayyim, Ibnu Abdil Hâdi, Ibnu Katsîr. Mereka ini adalah guru dan murid yang berkumpul di madrasah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Kemudian Imam Ibnu Rajab al-Hambali, Imam al-‘Irâqi (guru al-Hafidz Ibnu Hajar), Imam az-Zailâ’i, Imam al-Haitsami.
Kemudian al Hafidz Ibnu Hajar, Imam al ‘Ainiy dan lain-lain.
Kemudian Imam As Suyuthi dan lain-lain. Kemudian yang selain mereka dari zaman ke zaman. Kemudian yang ada pada zaman kita ini adalah dua orang Imam ahli hadits besar, mujtahid mutlak, Imam ahli jarh wat ta’dil yaitu Syaikhul Imam Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikhul Imam Muhammad bin Nashiruddin al-Albâni.
Perkataan para Imam ahli hadits yang saya sebutkan di atas dari tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în dan thabaqah yang sesudahnya dan seterusnya semuanya dalam rangka membela dan mempertahankan Sunnah dan Hadits Nabi yang mulia n agar tidak dimasuki sesuatu yang bukan dari beliau n , baik dengan sengaja seperti perbuatan para pendusta dan pemalsu hadits, atau di sebabkan karena kekeliruan dan berbagai sebab lainnya. Mereka telah memberikan pujian (ta’dîl) dan celaan (jarh) terhadap rawi-rawi hadits, mana diantara mereka yang tsiqah (terpercaya dalam agamanya dan ilmunya) dan mana yang lemah (dha’if) dengan berbagai macam cabang kelemahannya; misalnya kelemahan seorang rawi dimulai dari yang paling parah yaitu para pendusta yang telah memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mereka yang biasa berbohong di dalam pembicaraannya. Kemudian mereka yang fasiq yang mengerjakan dosa-dosa besar, selanjutnya para pengikut hawa nafsu dari ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya. Kemudian dari jurusan hafalannya, apakah sering salah, waham dan buruk hafalannya dan seterusnya.
Semua yang mereka sampaikan itu kembali kepada satu tujuan yaitu pembelaan serentak secara besar-besaran terhadap sunnah Nabi yang mulia n . Dengannya kaum Muslimin dapat mengetahui dengan jelas dan terang, apakah hadits tersebut sah atau tidak ?
MEMBELA SUNNAH ADALAH JIHAD[3]
Ketahuilah wahai saudaraku, membela dan mempertahankan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jihad yang besar, khususnya pada zaman kita sekarang ini. Kalau Yahya bin Ma’in seorang amirul Mukminîn fil hadits, Imamnya jarh wat ta’dil saja telah mengatakan pada zaman beliau masih hidup (beliau wafat pada tahun 233 H), "Mempertahankan dan mengadakan pembelaan terhadap Sunnah (Nabi) lebih utama dari jihad fi sabilillah (perang).”
Lalu, sekarang … pada zaman ini … Apakah yang akan kita katakan setelah berlalu tiga belas abad dari zaman Ibnu Ma’in ?!
Sekarang, simaklah dan perhatikanlah baik-baik sedikit dari sekian banyak pekataan para imam dalam menyingkap keadaan rawi, mana yang tsiqah dan mana yang dha’if ?
1. Abdullah bin Mubârak seorang tâbi’ut tâbi’în amîrul Mukminin fil hadits pernah menerangkan keadaan seorang (rawi), lalu beliau rahimahullah berkata, “Dia itu seorang pembohong.” Kemudian beliau ditegur oleh seorang laki-laki, “Wahai Abu Abdirrahman, kamu telah melakukan ghibah (menggunjing)!”
Abdullâh bin Mubârak kemudian mejawab dengan jawaban yang patut dicatat dengan tinta emas, karena jawaban beliau dikemudian hari menjadi kaidah umum tentang ilmu jarh wat ta’dil, "Diamlah engkau! Apabila kami tidak menjelaskan (keadaan rawi), bagaimanakah dapat diketahui yang haq dari yang bathil?”
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Mubârak pernah menerangkan keadaan seorang rawi yang bernama al-Mu’alla bin Hilal, sebagai seorang pembohong. Lalu sebagian dari kaum sufiyyah telah menegur beliau, "Hai Abu Abdirrahman, engkau telah melakukan ghibah!" Kemudian Abdullah bin Mubarak menjawab seperti di atas.
2. Kemudian dari Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal yang dijuluki oleh para Ulama sebagai Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pernah ditanya oleh seorang yang bernama Muhammad bin Bundar, "Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya sangatlah memberatkan saya untuk mengatakan bahwa si fulan itu adalah seorang pendusta ?”
Imam Ahmad menjawab dengan jawaban yang sama dengan jawaban Abdullah bin Mubarak yang patut dicatat dengan tinta emas, karena jawaban beliau menjadi kaidah umum tentang ilmu jarh wat ta’dil, "Apabila engkau diam dan akupun diam (dari menjelaskan tercelanya seorang rawi demikian juga ta’dilnya), maka kapankah orang yang jahil dapat mengetahui (hadits) yang shahih dari (hadits) yang sakit (dha’if).”
Dan perbuatan ini bukanlah ghibah sebagaimana telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu yang mulia ini. Karena tujuan atau maksud dari para Imam ahli hadits dalam menjarh rawi adalah menyampaikan nasehat demi membela dan menjaga agama Islam agar tidak kemasukan sesuatu yang tidak berasal dari Agama.
Ibnu ‘Ulayyah pernah berkata tentang jarh (menerangkan cacat dan cela seorang rawi hadits), "Sesungguhnya ini adalah amanat bukan ghibah.”
Abu Zur’ah ad-Dimasyqi pernah mengatakan, "Aku pernah mendengar Abu Mushir ditanya tentang keadaan seorang rawi yang salah dan waham serta tashhif (salah tulis dalam hadits) ? Beliau menjawab, “Jelaskanlah keadaannya !” Lalu aku bertanya kepada Abu Mushir, “Apakah kamu menganggap yang demikian itu perbuatan ghibah ?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Abdullah bin Ahmad bin Hambal mengatakan, "Abu Turab an-Nakhsyabiy pernah datang menemui bapakku (Imam Ahmad bin Hanbal), lalu bapakku mulai (menjelaskan keadaan rawi dengan) berkata bahwa, “Si fulan dha’if (lemah), sedangkan si fulan tsiqah (terpercaya).”
Lalu Abu Turab menegurnya, “Wahai Syaikh, janganlah engkau mengghibahkan Ulama !” Kemudian bapakku menoleh kepadanya dan menjawab, "Kasihan kau ! Ini nasehat bukan ghibah.”[4]
Semua ini berpulang kepada satu kaidah besar dalam Islam, yaitu memulangkan sesuatu kepada ahlinya. Orang yang tidak ahli tidak boleh dan tidak dibenarkan berbicara tentang sesuatu disiplin ilmu yang ada dalam Islam. Karena hal itu akan menimbulkan kerusakan di atas kerusakan yang bertumpuk. Atau paling tidak kerusakannya jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya. Ini kalau kita perkirakan ada kemanfaatannya. Bagaimana halnya kalau semuanya adalah kerusakan dan kebinasaan !!! Kewajiban bagi orang yang tidak atau belum tahu adalah bertanya kepada ahlinya, bukan membantahnya atau menegurnya seperti orang yang menegur amîrul Mukminin fil hadits Abdullâh bin Mubârak dan Imam Ahmad bin Hambal ketika keduanya sedang menjelaskan mana rawi yang tsiqah dan mana rawi yang dha’if. Karena kebodohan yang mereka diamkan, lalu mereka menuduh para Imam ahli hadits telah mengghibahkan manusia khususnya para Ulama !? Padahal perbuatan itu bukanlah ghibah!!! Akan tetapi sebuah nasehat Agama yang sangat besar sekali manfaatnya demi memelihara, menjaga serta mempertahankan Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuat iblis bersama bala tentaranya dan para pengikutnya dari para pemalsu hadits terkapar tidak berdaya berhadapan dengan para mujahid besar para Imam ahli hadits. Para Imam itu telah menghabiskan umur mereka untuk membela dan mempertahankan Sunnah Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Amat menakjubkan dan mengharukan saya apa yang telah dilakukan oleh seorang ahli hadits besar pada abad ini tanpa khilaf lagi, bahkan saya kira tidak berlebihan kalau saya sering mengatakan dan menjuluki beliau sebagai seorang amirul Mukminin fil hadits pada abad ini, yaitu Muhammad Nashiruddin al-Albani. Beliau telah mentahqiq dan mentakhrij ulang kitab Targhîb wat Tarhîb karya besar al-Imam al-Mundziriy pada usia delapan puluh lima tahun sebagaimana beliau jelaskan sendiri di muqaddimah Shahih Targhib Wat Tarhib (hlm. 12).
Saya katakan seperti itu tidaklah dengan serta merta, bukan taqlid buta seperti orang yang sedang memuji dan menyanjung seseorang padahal dia tidak mengetahui keadaan orang yang dipuji dan disanjungnya !!! Tetapi saya mengatakan seperti ini setelah saya mengadakan penelitian dan pendalaman yang terus-menerus dan berkepanjangan dalam safar ilmiyyah yang sangat melelahkan melihat kepada metoda takhrîj Syaikh Albani lebih dari seperempat abad lamanya. Kalau saudara bertanya kepada saya, misalnya tentang sebuah hadits, apakah hadits tersebut telah disahkan oleh al-Albani atau tidak ? Apakah hadits tersebut ada di kitab al-Albani dan di kitabnya yang mana? Tentu sebagiannya atau bahkan sebagian besarnya saya jawab, "Tidak tahu!" Tetapi kalau saudara bertanya kepada saya tentang metoda takhrîj hadits Albani dan ilmu hadits beliau yang demikian tingginya, maka –insyâ Allâhu Ta’ala- saya mampu menjawab sebagiannya atau sebagian besarnya, baik secara umum metoda takhrij hadits di kitab-kitab beliau yang ada pada saya dan dapat saya pelajari maupun secara khusus perkitab seperti Irwâ’ atau Silsilah dan lain-lain. Tetapi ingat! Kita tidak pernah memalaikatkan Albani sebagaimana pernah dituduhkan seperti itu kepada kami oleh seorang yang telah membantah imam besar ini tanpa ilmu kecuali memuntahkan apa yang ada padanya.
Ketahuilah! Ini adalah sebuah penelitian dari Diraasah ilmiyyah bukan taqlid. Karena saya –insyâ Allâh - bukanlah muqallid bagi salah seorang imam atau salah satu madzhab. Karena memang demikianlah manhaj ilmiyyah para imam ahli hadits termasuk al-Albani pada abad ini. Meskipun kita mengetahui secara pasti bahwa beliau adalah imam besar seperti saudara-saudaranya sesama Ulama yang dapat salah dan benar karena tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Begitulah para Imam ahli hadits dari zaman ke zaman sampai tubuh mereka yang telah tua renta tidak sanggup lagi membawa ilmu mereka. Dan itulah salah satu contoh dari seorang imamul jarh wat ta’dil pada abad ini Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani semoga Allâh mengampuninya dan merahmatinya dan memasukkannya ke dalam surga firdaus. Alangkah besar pembelaannya terhadap hadits Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Bagaimana dengan para Imam ahli hadits sebelumnya seperti al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah, yang dikatakan bahwa para wanita tidak sanggup lagi melahirkan anak yang sepertinya.
Kemudian bagaimana dengan adz-Dzahabiy Syaikhul jarh wat ta’dil. Al-Hâfidz Ibnu Hajar pernah meminum air zamzam memohon kepada Allâh Azza wa Jalla martabat hapalan seperti Imam adz-Dzahabi. Dan Dzahabiy sendiri pernah mngatakan dalam sebuah kitabnya setelah beliau menjelaskan thabaqatul muhadditsin (tingkatan para ahli hadits) mutaqaddimin (yang terdahulu), “ Bahwa orang yang kecil hapalannya pada zaman mereka adalah orang yang palingh hafizh pada zaman kita!!!” (yakni pada zaman Dzahabiy). Padahal Dzahabiy pernah mengatakan tentang keutamaan gurunya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kalau ada hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyyah maka bukanlah hadits. Sebuah pujian yang benar bukan omong kosong. Pujian yang beralasan bukan isapan jempol. Pujian yang nyata bukan hayalan. Adz Dzahabiy sungguh telah menyaksikan Syaikhul Islam dengan mata kepalanya akan ketinggian ilmu haditsnya yang tidak ada tandingannya yang telah diakui kealimannya oleh kawan maupun lawan, baik yang se zaman maupun yang sesudahnya. Meskipun demikian Dzahabiy mengatakan, “Bahwa orang yang kecil hapalannya pada zaman mereka adalah orang yang palingh hafizh pada zaman kita!!!”.... Allahu Akbar !!!
Kita kembali ke pokok pembahasan.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa mengambil sesuatu dari ahlinya merupakan salah satu kaidah besar dalam Islam yang telah ditinggalkan, terutama pada zaman kita sekarang ini. Lebih khusus lagi dalam masalah hadits, sebuah masalah besarnya karena berfungsi sebagai penafsir al-Qur’an. Sehingga mustahil bagi seseorang untuk memahami al-Qur’ân tanpa as-Sunnah atau Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (tentang nabi dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui, [An-Nahl/16:43]
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sesungguhnya al-Qur'ân ini tidak turun untuk mendustakan sebagian (ayat)nya dengan (ayat) lainnya, bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka apa yang kamu ketahui, amalkanlah ! Dan apa-apa yang tidak kamu ketahui, maka kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya (yang alim tentang al-Qur'ân)”.
Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Mâjah dan lain-lain.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan kaidah besar dalam masalah keharusan mengembalikan segala permasalahan kepada ahlinya. Sekarang kita sedang berbicara tentang jarh wa ta’dîl (celaan dan pujian terhadap rawi hadits) dan yang berhubungan dengannya, maka kewajiban kita adalah mengembalikan masalah ini kepada ahlinya, bukan kepada orang yang tidak tahu. Dari sini kita mengetahui, siapa saja yang berbicara tentang hadits sementara dia bukan ahlinya ,maka wajib ditolak dan tidak boleh diterima sama sekali serta wajib diumumkan di hadapan manusia bahwa dia orang yang tidak tahu menahu tentang hadits.
Perhatikalah beberapa atsar di bawah ini !
a. Dari Abu Abdirrahman as-Sulamy (dia berkata), "Bahwasannya Ali pernah mendatangi seorang qadhi lalu bertanya kepadanya, “Apakah engkau mengetahui nâsikh dan mansûkh ?” Qadhi menjawab, "Tidak.” Kemudian Ali Radhiyallahu anhu berkata, "(berarti) Engkau telah binasa dan membinasakan (orang).” [Riwayat Baihaqi dalam kitab sunannya ,10/117]
b. Dari Mis’ar, ia berkata, "Aku pernah mendengar Sa’ad bin Ibrahim berkata, 'Tidak boleh menceritakan dari Rasûlullâh kecuali orang-orang yang tsiqah (terpercaya).” [Riwayat Imam Muslim dalam muqaddimah Shahihnya (1/11-12)]
c. Abu Zinâd mengatakan, "Aku jumpai di Madinah seratus orang, semuanya orang-orang yang amanat, (akan tetapi) tidak satupun hadits diambil dari mereka, dikatakan bahwa mereka bukan ahlinya (yakni bukan ahli hadits)”. [Riwayat Muslim di muqaddimah Shahihnya (1/11)]
d. Dari Sulaiman bin Musa , dia berkata, "Aku bertemu dengan Thawus, lalu aku berkata kepadanya, 'Si fulan telah menceritakan kepadaku (hadits) ini dan itu, ((Bolehkah aku menerima riwayatnya) ?'
Thâwus menjawab, "Jika temanmu itu seorang rawi tsiqah, maka terimalah riwayat darinya.” [Riwayat Muslim di muqaddimah Shahîhnya (1/11)]
e. Berkata Yahya bin Sa’id (al Qaththan), "Aku pernah bertanya kepada Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah, Malik dan Ibnu Uyainah tentang seorang Rawi yang tidak tsabit (tidak kuat atau lemah) dalam (riwayat) haditsnya. Kemudian datang seorang kepadaku bertanya tentang orang tersebut (yakni tentang rawi yang dha’if itu, apakah boleh aku kabarkan kepadanya bahwa rawi tersebut dha’if) ?”
Jawab mereka, "Kabarkan kepadanya bahwa orang tersebut tidak tsabit (tidak kuat).” [Riwayat Muslim di muqaddimah Shahîhnya (1/13)]
f. Berkata Imam Malik, "Ilmu itu tidak boleh diambil kecuali dari ahlinya”. (Rijâlul Muwaththa’ oleh Imam Suyuthi)
Ayat al-Qur’an dan hadits di atas serta beberapa atsar dari shahabat, tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în menjelaskan kepada kita :
Pertama : Memulangkan segala sesuatu kepada ahlinya, khususnya dalam urusan hadits yang merupakan masalah besar.
Kedua : Ttidak boleh menceritakan dari Rasulullah kecuali orng-orang yang tsiqah. Tsiqah artinya adil dan Dhabith. Adil ialah orang yang baik agamanya, bukan orang fasiq dan tidak taat. Sedangkan dhabith ialah hafal hadits, baik hafalan luar kepala ataupun hafalan kitab, serta dia ahli dalam hadits, sebagaimana telah saya terangkan di kitab Mushtalahul hadits.
Ketiga : Hadits tidak boleh diterima dari orang yang bukan ahlinya bahkan wajib ditolak.
Keempat : Wajib mengumumkan orang-orang yang dha'if dan bodoh dalam hadits terlebih para ahli bid’ah yang senantiasa menentang hadits.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Jami' li Akhlaqir Raawi wa Adabis Sami' oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi 1/168, ditahqiq oleh Doktor Muhammad Ajaaj al-Khathib
[2]. Bacalah muqaddimah al-Kamilfi Dhu'afaair Rijal oleh Ibnu 'Adi ak-Mu'in fi Thabaqatil Muhadditsin oleh Imam adz-Dzahabi; Muqaddimah Taqribut Tahdzib oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan muqaddimah al-Jarhu wat Ta'dil oleh Imam Abi Hatim
[3]. Sub judul ini dari redaksi
[4]. Semua riwayat diatas telah dijelaskan oleh Imam al-Khatib Baghdadi dalam kitab al-Kifaayah fi 'Ilmir Raayah. Lihat Syarah 'Ilal Tirmidzi oleh Ibnu Rajab 1/46 dan seterusnya ditahqiq oleh Doktor Nuruddin 'Itr.

BAHASAN :
HomeAdab Dan PerilakuAhkamAhkam : HududAkhlakAktualAktual : WahhabiAl-IlmuAl-Ilmu : Qawaid FiqhiyahAl-Masaa'ilAl-Masaa'il : Dialog Pemikiran-1Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-2Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-3Al-Masaa'il : JihadAl-Masaa'il : PolitikAl-Masaa'il : PropagandaAl-Masaa'il : TerorismeAl-Qur'anAl-Qur'an : IlmuAl-Qur'an : TafsirAlwajiz : Haji & UmrahAlwajiz : Hukum & PidanaAlwajiz : JenazahAlwajiz : Jual BeliAlwajiz : MakananAlwajiz : NikahAlwajiz : PuasaAlwajiz : ShalatAlwajiz : Shalat SunnahAlwajiz : Sumpah & JihadAlwajiz : ThaharahAlwajiz : Wasiat & WarisAlwajiz : ZakatBahasan : AqidahBahasan : Asmaaul HusnaBahasan : AssunnahBahasan : Bai'atBahasan : Bid'ahBahasan : Hadits (1)Bahasan : Hadits (2)Bahasan : ManhajBahasan : Sirah NabiBahasan : SyakhshiyahBahasan : TauhidBahasan : Uswah NabiDakwahDakwah : FiraqDakwah : HizbiyyahDakwah : Kepada KafirDakwah : Nahi MungkarDakwah : Perpecahan !Dakwah : SyubhatFiqih : Bisnis & RibaFiqih : Haji & UmrahFiqih : Hari RayaFiqih : Jenazah & KematianFiqih : Jual BeliFiqih : Kurban & AqiqahFiqih : MakananFiqih : MediaFiqih : NasehatFiqih : NikahFiqih : Nikah & TalakFiqih : PuasaFiqih : Puasa SunnahFiqih : ShalatFiqih : Shalat Jum'atFiqih : SumpahFiqih : Waris & WaqafFiqih : ZakatFokus : FatawaFokus : MabhatsFokus : WaqiunaKitab : Al-Ushul Ats-TsalatsahKitab : Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ)Kitab : As-SunnahKitab : Dasar IslamKitab : Hari Kiamat (1)Kitab : Hari Kiamat (2)Kitab : Kunci RizkiKitab : Manhaj SalafKitab : Nikah - SakinahKitab : Nikah Beda Agama?Kitab : Nikah Dari A - ZKitab : Puasa NabiKitab : Qadha & QadarKitab : Rifqon Ahlus SunnahKitab : Shalat TahajjudKitab : Tanya Jawab Al-Qur'anKitab : Tauhid Prioritas UtamaRisalah : AnakRisalah : Do'a & DzikirRisalah : Gambar, MusikRisalah : HukumRisalah : KeluargaRisalah : Orang TuaRisalah : Pakaian, HiasanRisalah : Rizqi & HartaRisalah : Sakit, ObatRisalah : Sihir, DukunRisalah : Tazkiyah NufusWanita : Darah WanitaWanita : Fiqih ShalatWanita : KesehatanWanita : KonsultasiWanita : MuslimahWanita : ThaharahWanita : Wasiat

MENGAGUNGKAN SUNNAH

MENGAGUNGKAN SUNNAH
 
Oleh
Abdul Qoyyum bin Muhammad bin Nashir As-Suhaibani
Allah Ta’alah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ
Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memiliki pilihan apabilah Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan.. [Al-Ahzab:36]
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
Barang siapa mentaati Rasul, maka sungguh ia telah mentaati Allah…[An-Nisa:80]
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [Al-Ahzab:21]
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
Dan jika taat kepadanya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk, dan tidak lain kewajiban Rasul itu kecuali menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [An-Nur : 54]
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasulullah), takut akan di timpa fitnah (cobaan) atau di timpa adzab yang pedih. [An-Nur:63]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالَكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur pahala amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. [Al-Hujurat:2]
Ibnul Qoyyim berkata dalam mengomentari ayat ini : “Maka Allah memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya amalan-amalan mereka, disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulallah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara atas sebagian lainnya. Hal ini bukanlah menunjukan kemurtadan, akan tetapi (hanya) merupakan kemaksitan yang dapat menggugurkan amal, sedangkan pelakunya tidak merasakannya.[1]
Maka bagaimana terhadap orang yang mendahulukan perkataan, petunjuk dan jalan selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas perkataan, petunjuk dan jalan beliau?! Bukankah hal ini telah menggugurkan amalannya sedang ia tidak merasakannya ?!!.[2]
Dari ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu ia berkata :
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهْ وَ سَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang menggetarkan hati-hati dan mencucurkan air mata. Maka kami berkata : “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, oleh karena itu berilah wasiat kepada kami”. Beliau berkata: “Aku nasehatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla serta taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kalian, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap kebid'ahan adalah sesat. [3]
Abu Bakar As-Shidiq Radhiyallahu 'anhu berkata: “Tidaklah aku meniggalkan sedikitpun perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah, melainkan aku amalkan. Dan sesungguhnya aku takut jika aku meninggalkan sedikit saja dari perintahnya, aku akan tersesat.”
Ibnu Bathoh mengomentari hal ini dengan perkataanya: “Wahai saudaraku, inilah As-Shidiq Akbar, beliau merasa takut terhadap dirinya dari penyimpangan jika beliau menyelisihi sedikit saja dari perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana pula terhadap suatu zaman yang masyarakatnya telah menjadi orang-orang yang merperolok-olok nabi dan perintahnya, bangga dengan sesuatu yang menyelisihinya serta bangga dengan melecehkan sunnahnya. Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari ketergelinciran dan (memohon) keselamatan dari amalan-amalan yang jelek” [4]
Umar Bin Abdul Aziz berkata : “Tidak ada pendapat siapapun di atas sunnah yang dijalani oleh Rasulullah” [5]
Dari Abi Qilabah ia berkata : “Jika kamu mengajak berbicara seseorang dengan sunnah, kemudian orang tersebut berkata : “Tinggalkan ini dan berikan kepadaku kitab Allah (saja)! “ maka ketahuilah bahwa ia adalah orang yang sesat.” [6]
Adz-Dzahabi mengomentari hal ini dengan ucapannya: ”Apabila kamu melihat seorang ahlu kalam dan bid’ah berkata: “Jauhkanlah kami dari al-Kitab dan hadist-hadist ahad, dan berikanlah kepada kami akal saja, maka ketahuilah bahwa dia adalah Abu Jahal. Dan apabila kamu melihat penganut aliran tauhidy (sufi) berkata : “Tinggalkan kami dari nash-nash dan akal, dan berikanlah kepadaku perasaan dan naluri saja, maka ketahilah sesungguhnya Iblis telah menampakan dirinya dalam bentuk manusia atau telah menyatu padanya, jika engkau takut kepadanya, larilah! Kalau tidak, bantinglah dia dan dudukilah dadanya kemudian bacakan padanya ayat kursi dan cekiklah dia.” [7]
As-Syafi’i berkata : “Abu Hanifah Bin Samak Bin Fadl As-Syihaby telah mengkhabarkan kepadaku, dia berkata : Ibnu Abi Dzi’bi telah berkata kepadaku, dari Al-Muqri, dari Abi Syuraih Al-Ka’by, bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada hari fathu (Makkah): “Barang siapa yang keluarganya di bunuh, maka ada dua pilihan baginya, jika dia mau dia boleh mengambil diat, dan jika dia mau maka baginya qishas”.
Abu Hanifah berkata: “Aku berkata kepada Abi Dzi’bi apakah kamu akan mengambil (hadits) ini wahai Abu Haris?” Maka dia memukul dadaku dan berteriak keras serta mencelaku, lalu berkata: “Aku menceritakan kedamu dari Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kamu berkata: “Apakah kamu akan mengambilnya?!!. Ya, aku akan mengambilnya dan yang demikian itu adalah wajib bagiku dan orang bagi yang mendengarnya.
Sesungguhnya Allah telah memilih Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kalangan manusia, dan Allah memberi petunjuk kepada mereka melalui beliau dan lewat usaha beliau, dan Allah memilih bagi mereka apa yang Allah pilih bagi rosulNya, melalui lisan beliau. maka wajib bagi ummatnya untuk mengikutinya dalam keadaan taat dan tunduk, seorang muslim tidak dapat keluar dari hal itu.
Dia (Abu Hanifah ) juga mengatakan :“Dan dia terus marah tidak berhenti sampai aku berangan-angan andaikata ia mau berhenti.” [8]
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : "Kaum muslimin telah sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan seseorang” [9]
Al-Humaidi berkata : “Suatu hari Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, maka aku berkata: apakah kamu akan mengambil hadis itu? maka beliau menjawab: “Apakah kamu melihat aku keluar dari gereja atau (kamu melihat) zannar (ikat pinggang orang nashara) padaku, sehingga apabila aku mendengar suatu hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam aku tidak berkata dengannya (yakni tidak menerimanya).“ [10]
Imam Syafi’i pernah ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau menjawab: “Tentang hal tersebut telah di riwayatkan demikian dan demikian dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Lalu si penanya berkata: “Wahai Abu Abdillah, apakah kamu berpendapat dengannya (hadis itu)”, maka imam Syafi’i gemetar dan nampak urat lehernya dan berkata: “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak, dan langit manakah yang akan menaungi aku, apabila aku meriwayatkan suatu hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berkata dengannya ?! Ya, wajib bagiku menerimanya dengan mutlak.”[11]
Ahmad bin Hambal berkata : “Barang siapa menolak suatu hadis dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia berada di pinggir jurang kehancuran” [12]
Al-Barbahary berkata : “Apabila kamu mendengar seseorang mencerca atsar atau menolaknya atau menginginkan selainnya, maka ragukanlah keislamannya, dan janganlah kamu ragu bahwa ia adalah seorang pengekor hawa nafsu, dan mubtadi’ (ahli bid’ah)”[13]
Abu Al-Qosim Al-Asbahany berkata : Ahlu-Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan: ”Apabila seseorang telah mencerca atsar, maka sudah pantas baginya untuk diragukan keislamannya” [14]
PASAL DISEGERAKANNYA ADZAB BAGI ORANG YANG TIDAK MEMULIAKAN SUNNAH
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia bersabda :
لاَ تَطْرُقُوا النِّسَاءَ لَيْلاً قَالَ وَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَافِلاً فَانْسَاقَ رَجُلاَنِ إِلَى أَهْلَيْهِمَا فَكِلاَهُمَا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً
Janganlah kalian mendatangi para wanita (istri-istri) pada malam hari (misalnya ketika pulang dari safar-Red).
Ibnu Abbas berkata: “Pada suatu saat Rasulullah pulang dari bepergian, kemudian ada dua orang berjalan sembunyi-sembunyi pulang kepada istrinya masing-masing, maka kedua orang tersebut mendapatkan seorang pria sedang bersama istrinya" [15]
Dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu 'anhu:
أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ قَالَ : لاَ أَسْتَطِيْعُ قَالَ : "لاَ اسْتَطعْتَ" مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبَرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ
Bahwasanya ada seseorang pernah makan di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang itu berkata: “Saya tidak bisa” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Kamu tidak akan bisa. Tidaklah ada yang menghalangi orang itu melainkan kesombongan. Berkata Salamah: ”Orang tersebut akhirnya tidak bisa mengangkat tangan (kanan) ke mulutnya.” [16]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia bersabda :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْنِ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ الأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ لَهُ فَتًى قَدْ سَمَّاهُ وَهُوَ فِي حُلَّةٍ لَهُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَ هَكَذَا كَانَ يَمْشِي ذَلِكَ الْفَتَى الَّذِي خُسِفَ بِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ فَعَثَرَ عَثْرَةً كَادَ يَتَكَسَّرُ مِنْهَا فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلْمَنْخَرَيْنِ وَلِلْفَمِ ( إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ )
Tatkala seseorang berjalan dengan sombong dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian), maka Allah menenggelamkannya ke dalam bumi, dia dalam keadaan berbolak balik di dalamnya sampai hari kiamat”. Maka berkatalah seorang pemuda kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu –seorang perawi telah menyebutkan namanya– sedangkan pemuda tersebut mengenakan pakaiannya: “Wahai Abu Hurairah apakah seperti ini jalannya orang yang ditenggelamkan ke bumi itu”?. Kamudian ia melenggang dengan tangannya, lalu ia tergelincir, yang hampir-hampir mematahkan tulangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Untuk hidung dan mulut (kata cercaan)”. “Sesungguhnya kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang mengolok-olok [Al-Hijr: 95]” [17]
Dari Abdurahman bin Harmala dia berkata :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ يُوَدِّعُهُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَقَالَ لَهُ لاَ تَبْرَحْ حَتَّى تُصَلِّيَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ مِنَ الْمَسْجِدِ إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجَتْهُ حَاجَتُهُ وَهُوَ يُرِيدُ الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّ أَصْحَابِي بِالْحَرَّةِ قَالَ فَخَرَجَ قَالَ فَلَمْ يَزَلْ سَعِيدٌ يَوْلَعُ بِذِكْرِهِ حَتَّى أُخْبِرَ أَنَّهُ وَقَعَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَانْكَسَرَتْ فَخِذُهُ
Seorang lelaki datang kepada Sa’id bin Al-Musayyib untuk pamitan berhaji atau umroh. lalu Sa’id bin Al-Musayyib berkata kepada orang tersebut: “Janganlah engkau berangkat sebelum engkau melakukan sholat, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan melainkan seorang munafik, kecuali seorang harus keluar karena keperluannya, sedangkan dia bertujuan kembali lagi ke masjid”. Lelaki itupun berkata: “Sesungguhnya teman-temanku telah berada di Al-Harroh. Abduruhman berkata: “Maka orang itu akhirnya keluar, belum selesai Sa’id menyayangkan kepergian orang tersebut dengan menyebut-nyebutnya, tiba-tiba dikabarkan bahwa orang tersebut telah terjatuh dari kendaraannya sehingga patah pahanya.” [18]
Dari Abu Yahya As-Saji ia berkata: “Kami berjalan di gang-gang Bashroh menuju ke rumah salah seorang ahlu hadits, maka aku mempercepat jalanku. Dan ada seorang di antara kami yang jelek di dalam agamanya, ia berkata: ”Angkatlah kaki kalian dari sayapnya para malaikat, janganlah kalian mematahkannya (dia berkata sebagai ejekan), akhirnya orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian jatuh.” [19]
Abu Abdillah Muhammad bin Ismalil At-Taimy berkata : Aku pernah membaca dalam sebagian kisah, bahwa pernah ada seorang ahlul bid’ah tatkala mendengar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْسِلَهَا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Apabilah salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia mencucinya terlebih dahulu, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.
Maka ahlu bid’ah tersebut berkata dengan nada mengejek: “Aku mengetahui di mana tanganku bermalam di atas tempat tidur !! maka ketika ia bangun, tangannya telah masuk ke dalam duburnya sampai pergelangan tanganya”.
At-Taimy berkata: ”Hendaklah seseorang merasa takut menganggap ringan terhadap sunnah serta keadaan-keadaan yang (seharusnya ia) tawaqquf/diam . Maka lihatlah akibat yang telah sampai pada orang tersebut akibat akibat kejekan perbuatannya”. [20]
Al-Qodhi Abu Thoyyib berkata : “Kami pernah berada di majlis perdebatan di masjid jami’ Al-Mansyur, maka tiba-tiba datang seorang pemuda Khurosan, kemudian bertanya tentang “Al-Mushorroh”, dan dia meminta dalilnya, sampai akhirnya diberikan dalil dengan hadits Abu Hurairah yang meriwayatkan tentang hal tersebut. Kemudian orang tersebut mengatakan –sedangkan dia adalah orang hanif-: “Hadits Abu Hurairah tidak dapat diterima….tetapi belum selesai orang itu dari perkataannya, tiba-tiba seekor ular yang sangat besar jatuh dari atap masjid, orang-orangpun lari karenanya, dan pemuda itupun juga lari darinya, sedangkan ular tersebut terus mengejarnya. Maka orang-orang mengatakan kepadanya: ”Bertaubatlah, bertaubatlah”, maka pemuda itupun berkata: ”Aku bertaubat “, maka akhirnya ular itupun lenyap dan tidak terlihat bekas-bekasnya.[21]
Adz-Dzahabi berkata : “Sanad riwayat ini adalah para imam.”
SIKAP SALAFUS SHOLEH TERHADAP ORANG YANG MENENTANG SUNNAH
Dari Qotadah ia berkata: “Kami pernah bersama Imron bin Husain dalam suatu rombongan, sedang di dalam rombongan kami terdapat Basyir bin Ka’ab. Pada hari itu Imron menceritakan kepada kami, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ”Malu itu baik semuanya “ atau beliau bersabda: “Malu itu semuanya adalah baik”
Kemudian Basyir bin Ka’ab berkata: ”Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab-kitab atau hikmah, bahwa dari malu itu ada yang merupakan ketentraman dan penghormatan kepada Allah, tetapi pada malu itu ada kelemahan”. Maka Imron pun marah sampai merah kedua matanya dan berkata: “Tidakkah engkau melihat aku mengatakan kepadamu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan engkau menentangnya”.[22]
Dari Abdullah bin Mughofal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang khadzaf (melempar dengan batu kerikil; semacam ketapel) dan beliau bersabda: ”Karena khadzaf itu tidak akan mendapatkan buruan dan tidak dapat mengalahkan musuh, tetapi hanya akan membutakan mata dan memecahkan gigi”. Maka seseorang berkata kepada Abdullah bin Mughofal: “Aku berpendapat, hal itu tidak apa-apa”. Maka Abdullah bin Mughofal berkata: “Sesungguhnya aku telah mengatakan kepadamu dari Rasulullah, sedangkan engkau mengatakan seperti ini, maka demi Allah aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[23]
Dari Abi Al-Mukhariq dia berkata: Ubadah bin Ash-Shamit menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menukar dua dirham dengan satu dirham. Lalu ada seseorang berkata: ”Aku berpendapat yang demikian tidak apa-apa asalkan kontan”. Maka ‘Ubadah berkata: “Aku berkata “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, sedangkan engkau mengatakan “aku berpendapat yang demikian itu tidak apa-apa!! Maka demi Allah, tidak akan menaungi aku dan kau satu atap-pun selamanya (yakni: aku tidak akan tinggal serumah denganmu).[24]
Dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian ke masjid jika mereka meminta izin kepada kalian untuk ke sana ”
.
Salim berkata: Bilal bin Abdullah berkata: “Demi Allah kami akan melarang mereka (para wanita)”. Salim berkata: Maka Abdullah menghadap kepadanya (Bilal bin Abdullah), kemudian mencercanya dengan suatu cercaan yang jelek, yang aku belum pernah mendengar cercaan seperti itu sama sekali. Kemudian (Abdullah) berkata: “Aku mengatakan kepadamu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan engkau mengatakan “Demi Allah kami akan melarang mereka (para wanita)” [25]
Dari Atho’ bin Yasar: “Bahwa ada seseorang pernah menjual kepingan emas atau perak lebih banyak dari ukuran beratnya. Lalu Abu Darda’ berkata kepadanya : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hal ini, kecuali dengan yang senilai. Tetapi orang itu berkata: ”Aku berpendapat bahwa seperti ini tidak apa-apa“. Maka Abu Darda berkata: “Siapakah yang bisa memberikan alasan kepadaku dari si fulan ini, aku mengatakan dari Rasulullah, sedangkan dia mengatakan kepadaku dari akalnya. Maka aku tidak akan tinggal di negri ini yang engkau berada padanya”.
Dari Al-A’raj, ia berkata : “Aku pernah mendengar Abu Said Al-Khudry berkata kepada seseorang: “Tidakkah engkau mendengar aku, aku mengatakan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : ”Janganlah kalian menjual/menukar dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, kecuali dengan yang senilai, dan janganlah kalian menjual/menukar darinya secara kontan dengan hutang”, kemudian kamu berfatwa dengan apa yang engkau fatwakan. Maka demi Allah, tidaklah menaungi aku dan kamu selama aku hidup kecuali masjid” [26]
Dari Qotadah ia berkata : “Ibnu Sirin pernah mengatakan kepada seseorang tentang sebuah hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut berkata : ”Si fulan telah berkata demikian dan demikian”, maka Ibnu Sirin berkata: “Aku mengatakan kepadamu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan engkau mengatakan si fulan dan si fulan telah berkata demikian dan demikian ?!!”, maka aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya[27]

Abu As-Saib berkata: “Kami pernah bersama Waqi’, maka dia berkata kepada seseorang yang berada di sisinya yang berpandangan dengan akalnya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan Al-Isy’ar” [28]
Abu Hanifah berkata : Itu adalah suatu penyiksaan. Orang tersebut berkatalah bahwasannya telah di riwayatkan dari Ibrohim An-Nakha’i bahwa ia berkata: Al-Isr’ar adalah penyiksaan. Abu Saib berkata: “Maka aku melihat Waqi’ sangat marah dan berkata: “Aku telah berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, sedangkan engkau berkata: Ibrahim telah berkata. Maka sangatlah pantas kamu dipenjara dan tidak dilepaskan sehingga kamu menarik kembali perkataanmu ini.” [29]
Dari Khirzadz Al-’Abid ia berkata: “Abu Mu’awiyah Adh-Dharir meriwayatkan hadits “Adam berdebat dengan Musa“ di dekat Harun Al-Rasyid. Lalu seorang bangsawan dari Quraisy berkata: “Di mana Adam bertemu dengan Musa”?, maka Harunpun marah dan berkata : “(Untuk) perkataan (yang mengada-ada) adalah pedang, seorang zindiq mencerca hadits“. Maka Abu Mu’awiyahpun terus berusaha menenangkan Harun, dan berkata: “Sabar wahai Amirul Mukminin, karena dia itu belum faham sampai akhirnya Amirul mukminin menjadi tenang.” [30]
PENUTUP
Inilah nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah tentang mengagungkan Sunnah, serta beginilah sikap Salafush shalih (sahabat dan tabi’in ) terhadap orang-orang yang menentang sunnah. Kita lihat sikap mereka yang menunjukkan kekuatan, keteguhan dan ketegasan terhadap orang yang menampakkan sesuatu yang di dalamnya terdapat penentangan terhadap sunnah.
(Diterjemahkan oleh Akhmad Hamidin dari kitab beliau “Ta’zhimus Sunnah Wa Mauqifus Salaf Miman ’Aradhaha au Istahza-a bi Syai-in Minha)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Ibnul Qoyyim berkata: “Jika ditanyakan bagaimana amalan bisa gugur tanpa kemurtadan? jawabnya “ya”, sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa yang dinukil dari para sahabat telah menunjukkan bahwa kejelekan dapat menghapus kebaikan, sebagaimana juga kebaikan dapat menghapus kejelekan..Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (si penerima). [Al-Baqarah:264]
Allah Ta'ala berfiman : “….Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur pahala amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. [Al-Hujurat:2]
[2]. Al Wabilus Shoyyib hal. 24 Cetakan Dar Ibnul Jauzy.
[3]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud no 4607 dan Tirmidzy no. 2676 dan Ibnu Majah no.44.
[4]. Al-Ibanah (I/246)
[5]. I’lamul Muwaqi’in (II/282)
[6]. Thobaqot Ibnu Sa’ad
[7]. Siyar A’lam Nubala’ (4/472)
[8]. Ar-Risalah li Syafi’iy hal. 450 no. 1234
[9]. I’lamul Muwaqi’in (2/282)
[10]. Hilyatul Auliya’ (9/106) , Siyar A’lam Nubala’ (10/34)
[11]. Sifatus Sofwa (2/256)
[12]. Tobaqat Al-Hanabilah (2/15),Al-Ibanah (1/260)
[13]. Syarhus Sunnah hal. 51
[14]. Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/428)
[15]. Sunan Addarimi no.444
[16]. Muslim no.2021
[17]. Sunan ad-Darimi no. 437
[18]. Sunnah ad-Darimi no. 446
[19]. Bustanul A’rifin lin Nawawi hal.94
[20]. Bustanul A’rifin lin Nawawi hal 94
[21]. Siyar A’lamun Nubala (2/618)
[22]. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari no. 6117 dan Imam Muslim no. 61, dan lafazh ini darinya.
[23]. Dikeluarkan Imam Bukhari no. 5479 dan Muslim no. 1954. Dan lafazh ini bagi Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no. 96
[24]. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah hadits 81. Dan Ad Darimi hadits 443, dan lafazh ini bagi Ad Darimi. Hadits ini telah dishahihkan oleh Al Albani.
[25]. Dikeluarkan oleh Muslim haditas no. 442 nomor khusus 135.
[26]. Lihat Al-Ibanah li ibni Batthoh hadis no.94.
[27]. Sunan ad-Darimi no.441
[28]. Al-isy’ar : Yaitu merobek salah satuh sisi pundak hewan (unta), sehingga mengeluarkan darahnya, dan bisa di ketahui dengan tanda tersebut bahwa itu adalah hewan kurban . an Nihayah (2/479)
[29]. Jami’ Tirmidzi (3/250)
[30]. Tarikh Baghdad ( 41/7 ), Siyar ‘Alamin Nubala’ ( 9/288 ).

Monday 14 September 2015

KENAPA KITA DIAM di 10 awal bulan zulhijjah

KENAPA KITA DIAM di 10 awal bulan zulhijjah
 
▶Kenapa kita diam.....?
Padahal ini adalah hari hari terbaik yg Allah ciptakan di
muka bumi.
Dari Ibnu Umar ra.
Rosulullah shalallahu 'alaihi wasalam bersabda
"Tidak ada hari hari yg dianggap lebih agung dan disukai untuk tempat beramal sebagaimana disepuluh hari ini ,maka perbanyaklah dihari hari itu tahlil,takbir dan tahmid." Hr Imam Ahmad.
Ayo........
Basahi lisan dan hati kita dengan dzikir
▶Kenapa kita diam.......
Padahal Betapa semangatnya para sahabat untuk menghidupkan hari hari ini....
Imam Bukhori menuturkan
"Dahulu ibnu Umar dan Abu hurairoh rodhiyallahu 'anhuma keluar menuju pasar untuk mengumandangkan takbir di 10 awal bulan zulhijjah,maka manusiapun ikut bertakbir bersamanya".
Ayo.......
Perbanyak takbir
الله اكبر ....الله اكبر....
لا اله الا الله و الله اكبر....
الله اكبر ولله الحمد...
▶Kenapa kita diam......?
Padahal setiap detik dari umur kita akan diminta pertanggung jawabannya.
Ayo........
Ucapkanlah istighfar di meja meja makan kita di pasar pasar di jalan ditempat sepi dan ditempat keramaian 3x 70x 100x
Bahkan lebih dari itu niscaya ia tidak akan memadhorotkanmu
▶Kenapa kita diam......?
Padahal kita tahu amal sholeh dihari ini lebih dicintai daripada jihad fii sabilillah.
Ayo.......
Saingi kawanmu.......
SEMOGA ALLAH MUDAHKAN

JAGALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA

JAGALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA
 
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
MUQADDIMAH
Kebaikan keluarga akan berpengaruh kepada kebaikan masyarakat, dan kebaikan masyarakat akan berpengaruh kepada kebaikan negara. Oleh karena itulah agama Islam banyak memberikan perhatian masalah perbaikan keluarga. Di antara perhatian Islam adalah bahwa seorang laki-laki, yang merupakan kepala rumah tangga, harus menjaga diri dan keluarganya dari segala perkara yang akan menghantarkan menuju neraka. Marilah kita perhatian perintah Allâh Yang Maha Kuasa berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[at-Tahrîm/66:6]
Tafsir Ayat
Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang beriman
Tafsir :
Allâh Maha kasih sayang kepada para hamba-Nya. Jika Dia memberikan perintah, pasti itu merupakan kebaikan dan bermanfaat, dan jika Dia memberikan larangan, pasti itu merupakan keburukan dan berbahaya. Maka sepantasnya manusia memperhatikan perintah-perintah-Nya.
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma dan para Ulama Salaf rahimahumullâh berkata, “Jika engkau mendengar Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam al-Qur’ân ‘Hai orang-orang yang beriman’, maka perhatikanlah ayat itu dengan telingamu, karena itu merupakan kebaikan yang Dia perintahkan kepadamu, atau keburukan yang Dia melarangmu darinya”. [Tafsir Ibnu Katsir, 1/80]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
Tafsir :
Kebaikan yang Allâh perintahkan dalam ayat ini, adalah agar kaum Mukminin menjaga diri mereka dan keluarga mereka dari api neraka. Bagaimana caranya?
Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allâh dan jagalah dirimu dari kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu dengan dzikir, niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menyelamatkanmu dari neraka”.
Mujâhid rahimahullah berkata tentang firman Allâh ‘peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’, “Bertakwalah kepada Allâh, dan perintahkan keluargamu agar bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla ”.
Qatâdah rahimahullah berkata, “(Menjaga keluarga dari neraka adalah dengan) memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allâh dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan mengatur mereka dengan perintah Allâh Azza wa Jalla , memerintahkan mereka untuk melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla , dan membantu mereka untuk melaksanakan perintah Allâh. Maka jika engkau melihat suatu kemaksiatan yang merupakan larangan Allâh, maka engkau harus menghentikan dan melarang keluarga(mu) dari kemaksiatan itu”. [Lihat semua riwayat di atas dalam Tafsir Ibnu Katsir, surat at-Tahrîm ayat ke-6]
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Allâh Yang Maha Tinggi sebutannya berfirman, 'Wahai orang-orang yang membenarkan Allâh dan RasulNya ‘Peliharalah dirimu!’, yaitu maksudnya, 'Hendaklah sebagian kamu mengajarkan kepada sebagian yang lain perkara yang dengannya orang yang kamu ajari bisa menjaga diri dari neraka, menolak neraka darinya, jika diamalkan. Yaitu ketaatan kepada Allâh. Dan lakukanlah ketaatan kepada Allâh.
Firman Allâh ‘dan keluargamu dari api neraka!’, Maksudnya, 'Ajarilah keluargamu dengan melakukan ketaatan kepada Allâh yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. Para ahli tafsir mengatakan seperti yang kami katakan ini.' [Tafsir ath-Thabari, 23/491]
Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Menjaga diri dari neraka adalah dengan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan-ketaatan. Sedangkan menjaga keluarga adalah dengan mendorong mereka untuk melakukan hal itu dengan nasehat dan ta’dîb (hukuman) ... Yang dimaksukan dengan keluarga, berdasarkan sebagian pendapat mencakup: istri, anak, budak laki, dan budak perempuan. Ayat ini dijadikan dalil atas kewajiban seorang laki-laki mempelajari kewajiban-kewajiban dan mengajarkannya kepada mereka ini”. [Tafsir al-Alûsi, 21/101]
Semakna ayat ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. [Thaha/20: 132]
Dan termasuk juga semakna dengan ayat ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing. [HR. al-Hâkim, Ahmad dan Abu Dâwud; disahihkan al-Albâni dalam al-Irwâ`]
Mengajari ibadah kepada anak-anak bukan hanya shalat, namun juga ibadah-ibadah lainnya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Para ahli fiqih berkata: ‘Demikian juga (anak-anak dilatih) tentang puasa, agar hal itu menjadi latihan baginya untuk melaksanakan ibadah, supaya dia mencapai dewasa dengan selalu melaksanakan ibadah dan ketaatan, serta menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemungkaran, dan Allâh Yang Memberikan taufiq”. [Tafsir Ibnu Katsîr, surat at-Tahrîm ayat ke-6]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.
Tafsir :
Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Yaitu api neraka yang sangat besar, dinyalakan dengan manusia dan batu, sebagaimana api yang lain dinyalakan dengan kayu bakar”. [Fat-hul Qadîr, 7/257]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Yaitu kayu api neraka yang dilemparkan ke dalamnya adalah anak-anak Adam, ‘dan batu’, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘batu’ adalah patung-patung yang dahulu disembah (di dunia) berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ
Sesungguhnya kamu (orang-orang musyrik-pen) dan apa yang kamu sembah selain Allâh, adalah umpan Jahannam. [Al-Anbiya’/21: 98]
Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, Mujâhid, Abu Ja’far al-Baqir, dan as-Suddi, mereka berkata, “Itu adalah batu-batu kibrit (batu bara)”, Mujâhid menambahkan, “lebih busuk daripada bangkai”.[Tafsir Ibnu Katsîr, 8/167]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras
Tafsir :
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Yaitu watak mereka kasar, rasa kasih sayang terhadap orang-orang kafir yang kepada Allâh Azza wa Jalla telah dicabut dari hati mereka. ‘Syidâd’, yaitu tubuh mereka sangat kuat, kokoh dan penampilan mereka menakutkan”.[Tafsir Ibnu Katsîr, 8/167]
Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Yaitu para penjaga neraka adalah para malaikat, mereka mengurusi neraka dan menyiksa penghuninya, mereka kasar kepada penghuni neraka, keras terhadap mereka, tidak mengasihi mereka ketika mereka minta dikasihani, karena Allâh Azza wa Jalla menciptakan mereka dari kemurkaaan-Nya, menjadikan mereka berwatak suka menyiksa makhluk-Nya.
Ada yang berpendapat, mereka kasar hatinya, keras badannya. Atau kasar perkataannya, keras perbuatannya. Atau ghilâzh: besar badan mereka, syidâd: kuat”. [Tafsir Fat-hul Qadîr, 7/257]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
dan mereka tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Tafsir :
Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Yaitu mereka melakukan pada waktunya, tidak terlambat, mereka tidak memundurkannya dan tidak memajukannya”. [Tafsir Fat-hul Qadîr, 7/257]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu apapun yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan kepada mereka, mereka akan bergegas untuk melakukannya, tidak menundanya sekejap matapun, dan mereka mampu mengerjakannya, mereka tidak lemah dalam melakukannya. Mereka ini adalah malaikat Zabâniyah, kita mohon perlindungan kepada Allâh Azza wa Jalla dari mereka”.[Tafsir Ibnu Katsîr, 8/167]
PETUNJUK-PETUNJUK AYAT:
1. Mengetahui kasih-sayang Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya yang beriman, karena Allâh Azza wa Jalla telah memberikan perintah yang membawa kebaikan, dan melarang dari keburukan yang membawa kepada kecelakaan.
2. Kewajiban mempelajari bentuk-bentuk ketaatan untuk diamalkan serta mempelajari bentuk-bentuk kemaksiatan untuk ditinggalkan. Dengan ini seseorang bisa menjaga diri dari neraka.
3. Kewajiban memberikan perhatian kepada istri, anak-anak, dan orang-orang yang ditanggung, mendidik mereka, dan memerintahkan mereka untuk taat kepada Allâh dan Rasul-Nya, serta melarang mereka dari kemaksiatan. Ini berarti menjaga mereka semua dari api neraka.
4. Meyakini bahwa bahan bakar neraka adalah manusia dan batu. Maka seharusnya manusia menjaga dirinya, untuk selalu beriman dan beramal shalih, sehingga tidak menjadi bahan bakar neraka.
5. Meyakini bahwa para penjaga neraka adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras, sehingga mereka tidak bisa dikalahkan oleh para penghuni neraka.
6. Meyakini bahwa di antara sifat-sifat malaikat adalah selalu taat. Mereka tidak pernah mendurhakai Allâh Azza wa Jalla dan mereka mampu melaksanakan perintah-Nya.
Wallahu a’lam bishawaab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

BAHASAN :
HomeAdab Dan PerilakuAhkamAhkam : HududAkhlakAktualAktual : WahhabiAl-IlmuAl-Ilmu : Qawaid FiqhiyahAl-Masaa'ilAl-Masaa'il : Dialog Pemikiran-1Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-2Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-3Al-Masaa'il : JihadAl-Masaa'il : PolitikAl-Masaa'il : PropagandaAl-Masaa'il : TerorismeAl-Qur'anAl-Qur'an : IlmuAl-Qur'an : TafsirAlwajiz : Haji & UmrahAlwajiz : Hukum & PidanaAlwajiz : JenazahAlwajiz : Jual BeliAlwajiz : MakananAlwajiz : NikahAlwajiz : PuasaAlwajiz : ShalatAlwajiz : Shalat SunnahAlwajiz : Sumpah & JihadAlwajiz : ThaharahAlwajiz : Wasiat & WarisAlwajiz : ZakatBahasan : AqidahBahasan : Asmaaul HusnaBahasan : AssunnahBahasan : Bai'atBahasan : Bid'ahBahasan : Hadits (1)Bahasan : Hadits (2)Bahasan : ManhajBahasan : Sirah NabiBahasan : SyakhshiyahBahasan : TauhidBahasan : Uswah NabiDakwahDakwah : FiraqDakwah : HizbiyyahDakwah : Kepada KafirDakwah : Nahi MungkarDakwah : Perpecahan !Dakwah : SyubhatFiqih : Bisnis & RibaFiqih : Haji & UmrahFiqih : Hari RayaFiqih : Jenazah & KematianFiqih : Jual BeliFiqih : Kurban & AqiqahFiqih : MakananFiqih : MediaFiqih : NasehatFiqih : NikahFiqih : Nikah & TalakFiqih : PuasaFiqih : Puasa SunnahFiqih : ShalatFiqih : Shalat Jum'atFiqih : SumpahFiqih : Waris & WaqafFiqih : ZakatFokus : FatawaFokus : MabhatsFokus : WaqiunaKitab : Al-Ushul Ats-TsalatsahKitab : Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ)Kitab : As-SunnahKitab : Dasar IslamKitab : Hari Kiamat (1)Kitab : Hari Kiamat (2)Kitab : Kunci RizkiKitab : Manhaj SalafKitab : Nikah - SakinahKitab : Nikah Beda Agama?Kitab : Nikah Dari A - ZKitab : Puasa NabiKitab : Qadha & QadarKitab : Rifqon Ahlus SunnahKitab : Shalat TahajjudKitab : Tanya Jawab Al-Qur'anKitab : Tauhid Prioritas UtamaRisalah : AnakRisalah : Do'a & DzikirRisalah : Gambar, MusikRisalah : HukumRisalah : KeluargaRisalah : Orang TuaRisalah : Pakaian, HiasanRisalah : Rizqi & HartaRisalah : Sakit, ObatRisalah : Sihir, DukunRisalah : Tazkiyah NufusWanita : Darah WanitaWanita : Fiqih ShalatWanita : KesehatanWanita : KonsultasiWanita : MuslimahWanita : ThaharahWanita : Wasiat

10 HARI DI BULAN DIL-HIJJAH

10 HARI DI BULAN DIL-HIJJAH 
 
Diantara karunia Allah سبحانه وتعالى kpd para hamba, dijadikannya satu kesempatan utk berbuat taat, memperbanyak amal salih, berlomba dlm perkara yg dpt mendekatkan diri kpd Robb سبحانه وتعالى.
Seorang yg bahagia adlh yg mampu mengisi hari-harinya dg ketaatan, & tdk membiarkan hari tsb berlalu tanpa bekas...
Diantara kesempatan muliya tsb adlh 10 hari dibulan dul-Hijjah, yg mana Nabi صلى الله عليه وسلم memberikan kesaksian bahwasanya ia adlh sebaik-baik hari di dunia, & menganjurkan agar banyak beramal didalamnya, bahkan Allah سبحانه وتعالى tlah bersumpah dg nya, dan ini adlh dalil yg menunjukkan kemuliaan hari tsb, dikarenakan Dzat Yg Maha Besar tdk bersumpah kecuali thd perkara yg Besar.
Dg ini seorang hamba hendaknya bersungguh2 menyambutnya, beramal didalamnya, mengunakan sebaik-baiknya.
Dg apa kita menyambut nya? ;
- Taubat dg sepenuh hati.
Seorang muslim hendaknya dlm menyambut bulan ini dg banyak bertaubat, Allah berfirman," Dan bertaubatlah kalian semuanya kpd Allah wahai orang2 yg beriman agar kalian beruntung". An-Nur 31.
- Berusaha sekuat tenaga memperbanyak amal salih, Allah berfirman," & orang2 yg bersungguh-sungguh (berjihad) utk kami, niscaya kami akan tunjuki kpd nya jalan-jalan kami". Al-Ankabut 69.
- Menjauhi perkara maksiyat.
Sebagaimana ketaatan akan mendekatkan kpd Allah سبحانه وتعالى ,maka maksiat adalah sebab jauhnya hamba dr Allah سبحانه وتعالى & rahmat-Nya. Jikalau sekiranya mengharap ampunan ilahi, & bebas dr siksa-Nya,maka menjauhlah dari maksiat di hari nan suci ini. "Barang siapa memahami tujuan yg akan di tuju, niscaya akan terasa ringan apa yg ia tempuh".
(Qism Ilmi bid-Daar Al-Watn)
Ust Rochmad Supriyadi, Lc حفظه الله تعالى

Sunday 13 September 2015

1 DZULHIJJAH 1436 jatuh pd

 
Insyaallah 1 DZULHIJJAH 1436 jatuh pd Selasa,15 september 2015.Mohon di perhatikan hal berikut ini. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻢ ﻫﻼﻝ ﺫﻱ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﻭﺃﺭﺍﺩ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺃﻥ ﻳﻀّﺤﻲ ﻓﻠﻴﻤﺴﻚ ﻋﻦ ﺷﻌﺮﻩ ﻭﺃﻇﻔﺎﺭﻩ
"Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".
Dalam riwayat lain :
ﻓﻼ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﺷﻌﺮﻩ ﻭﻻ ﻣﻦ ﺃﻇﻔﺎﺭﻩ ﺣﺘﻰ ﻳﻀﺤﻲ
"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.
ﻭَﻻ ﺗَﺤْﻠِﻘُﻮﺍ ﺭُﺀُﻭﺳَﻜُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺒْﻠُﻎَ ﺍﻟْﻬَﺪْﻱُ ﻣَﺤِﻠَّﻪ
"..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [al-Baqarah/2 : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

ADAB-ADAB BERPAKAIAN

ADAB-ADAB BERPAKAIAN
 
Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
1. Tidak dibolehkan memakai sutera dan emas bagi kaum lelaki berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kain sutera dan memegangnya dengan tangan kanannya sedangkan emas dipegang dengan tangan kirinya kemudian bersabda:
إِنَّ هذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أَمَّتِيْ.
“Sesungguhnya keduanya haram atas kaum lelaki dari ummatku.” [HR. Abu Dawud no. 4057 diriwayatkan pula dengan sanad hasan oleh an-Nasa-i VIII/160 dan Ibnu Hibban no. 1465]
2. Tidak dibolehkan bagi laki-laki memanjangkan pakaian atau celana panjang, burnus (sejenis mantel yang bertudung kepala) atau jubah sampai melebihi mata kaki. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَفِي النَّارِ.
“Kain yang dibawah mata kaki maka tempatnya di Neraka.” [HR. Al-Bukhari no. 5787 dan an-Nasa-i VIII/207 no. 5331]
3. Diwajibkan bagi wanita muslimah untuk memanjangkan pakaiannya hingga dapat menutupi kedua mata kakinya dan hendaknya menjulurkan kain kerudung jilbab pada kepalanya hingga menutupi leher dan dadanya, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzaab/33: 59]
Dan firman Allah Azza wa Jalla:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. [An-Nuur/24: 31]
4. Seorang muslim tidak dibenarkan menutup kain ke seluruh tubuhnya dan tidak menyisakan tempat keluar untuk kedua tangannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal ini dan tidak boleh berjalan dengan satu sandal, hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَمْشِ أَحَدُكُمْ فِيْ نَعْلٍ وَاحِدَةٍ لِيُنْعِلْهُمَا جَمِيْعًا أَوْ لِيَخْلَعْهُمَا جَمِيْعًا.
“Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan satu sandal saja namun hendaknya memakai keduanya atau melepaskannya sama sekali.” [HR. Al-Bukhari no. 5856 dan Muslim no. 2097 (68)]
5. Laki-laki muslim tidak boleh menggunakan busana muslimah dan wanita muslimah tidak boleh menggunakan busana laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَنَ اللهُ الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.”[1]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya:
لَعَنَ اللهُ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.
“Allah melaknat laki-laki yang mengenakan busana wanita dan wanita yang menggunakan busana laki-laki.”[2]
6. Bagi seorang muslim, jika hendak mengenakan sandal maka haruslah memulai dengan kaki kanan dan jika hendak melepaskan memulai dengan kaki kiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِاليُمْنَى وَإِذَا خَلَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ.
“Apabila salah seorang di antara kamu memakai sandal (sepatu), maka mulailah dengan yang kanan dan apabila melepasnya mulailah dengan yang kiri.” [HR. Al-Bukhari no. 5855 dan Muslim no. 2097]
7. Hendaknya memulai memakai baju dari bagian kanan sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam semua urusannya.” [HR. Al-Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268 (67)]
8. Hendaknya ketika memakai baju baru, sorban (kopiah atau peci) baru, dan jenis pakaian lainnya yang baru untuk mengucapkan do’a:
اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيْهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ ماَ صُنِعَ لَهُ.
“Ya Allah, hanya bagimu segala pujian, Engkaulah yang telah memberikanku pakaian, aku memohon kepada-Mu untuk memperoleh kebaikannya dan kebaikan dari tujuan dibuatnya pakaian ini. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan dari tujuan dibuatnya pakaian ini.”[3]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H - Maret 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lafazh di atas adalah lafazh yang keliru karena tidak ditemukan lafazh la’ana Allah, namun yang benar adalah la’ana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.” [HR. Al-Bukhari no. 5886, 6834, Abu Dawud no. 4930]-pent.
[2]. Tetapi lafazh ini salah karena mencantumkan lafazh لَعَنَ اللهُ (Allah melaknat), padahal yang benar adalah لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ (Rasulullah melaknat) dan ini riwayat Imam al-Bukhari, namun pada riwayat Abu Dawud dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu adalah sebagai berikut:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَ الْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan busana wanita dan wanita yang menggunakan busana laki-laki.” [HR. Abu Dawud no. 4098]-penj.
[3]. HR. Abu Dawud no. 4020, at-Tirmidzi no. 1822, al-Hakim IV/192 dengan menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.-penj.

Saturday 12 September 2015

PENTINGNYA MEMPERHATIKAN PENDIDIKAN PARA PEMUDA


PENTINGNYA MEMPERHATIKAN PENDIDIKAN PARA PEMUDA
 
Oleh
Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân.
Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa. Berpegang teguhlah dengan tali Allah. Ingatlah, kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan berpegang teguh dengannya. Bersyukurlah kepada Allah. Dengan bersyukur, niscaya kenikmatan itu akan senantiasa bertambah.
Masa muda merupakan masa keemasan, masa produktif. Masa yang paling gemilang untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya menuju akhirat. Sehingga Islam sangat memperhatikan kepada para pemuda. Demikian halnya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau sangat memberikan perhatian kepada para pemuda. Di antaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ
Tujuh orang yang akan dilindungi oleh Allah pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, (yaitu) pemimpin yang adil dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah. [Muttafqun alaihi].
Tanggung jawab untuk terbentuknya pemuda-pemuda tangguh dan generasi yang taat, itu merupakan kewajiban dan tugas yang besar di pundak para orang tua, agar mendidik anak-anaknya semenjak dini dengan pendidikan yang benar, yaitu pendidikan yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian agar menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya. [HR Abu Dâwud].
Hadits ini, meskipun berhubungan dengan mendidik anak dalam masalah shalat, akan tetapi, sesungguhnya mencakup pendidikan lainnya dari syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ibnu ‘Abbâs yang pada saat itu beliau masih kecil:
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
Wahai, anak kecil! Sesunguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia selalu di hadapanmu; apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya. [HR Tirmidzi].
Didiklah mereka dengan pendidikan Islam. Berilah para pemuda itu dengan pengarahan yang benar. Hendaklah orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya, sehingga menjadikannya sebagai qudwah hasanah.
Salah satu wasilah yang sangat membantu dalam membentuk kepribadian anak, adalah dengan membersihkan rumah-rumah kita dari berbagai sarana yang dapat membawa kepada kerusakan, sehingga seorang anak akan selamat dari berbagai penyelewengan, akan selalu terjaga fithrahnya, dan menjadi anak shâlih yang akan memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya; tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengumpulkannya bersama kedua orang tuanya di surga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya. [ath-Thûr/52 ayat 21]
Untuk mencapai kemuliaan yang agung ini, tentu membutuhkan kesabaran, perjuangan, dan perhatian yang besar dari para orang tua. Terlebih lagi pada zaman sekarang ini, berbagai fasilitas tersedia dan sangat mudah membahayakan akhlak dan kepribadian seorang anak. Pemuda pada zaman ini, ia bagaikan seekor kambing yang berada dalam kerumunan serigala yang siap menyantapnya.
Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa para salafush-shalih sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka berusaha menjadikan anak-anaknya sebagai penghafal Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para pengajar yang amanah. Bahkan tidak sedikit harta yang mereka keluarkan. Masa dan waktu yang panjang mereka luangkan. Semua ini, mereka korbankan demi mengharapkan tercapainya cita-cita, yaitu memiliki generasi yang taat kepada Allah. Mereka tidak membiarkan waktu-waktu yang ada kosong begitu saja menghiasi anak-anaknya, karena waktu yang kosong dapat berbahaya bagi seorang pemuda. Oleh karena itu, seorang pemuda yang memiliki kekuatan dan keinginan, harus memanfaatkan waktunya dengan kesibukan. Jagalah waktu mereka dengan sebaik-baiknya. Demikian pula, jangan memberikan kepada mereka harta yang berlebihan, tetapi berikanlah sesuai dengan kebutuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. [al-Furqân/25:67].
Adapun para guru atau para pendidik, sesungguhnya mereka memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak-anak kaum muslimin. Menjadikan mereka generasi Rabbani; generasi yang selalu berjalan di atas ketentuan Allah dan Rasul-Nya, generasi yang meneruskan perjuangan para sahabat, generasi yang siap mengemban dakwah Islam. Ajarkanlah kalimat tauhid, ajarkanlah sunnah-sunnah Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ajarkanlah akhlak mulia. Itulah tugas seorang guru yang merupakan tugas yang agung dan amanah yang besar.
Ketahuilah, sesungguhnya para musuh selalu berusaha merusak kepribadian pemuda Islam. Mereka selalu membuat makar untuk menjerumuskan para pemuda ke jurang kebinasaan. Para musuh Islam menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menjerumuskan kepada syahwat untuk merusak akhlak pemuda Islam, seperti obat-obat terlarang untuk merusak akal sekaligus badan, bahkan para musuh Islam menyusup melalui pendidikan dengan cara memasukkan pelajaran yang tidak sesuai dengan norma-norma Islam. Pelajaran yang mengandung kemaksiatan, bahkan kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tujuan utama para musuh itu ialah agar kaum muslimin berpaling dari ilmu Islam dan sibuk dengan ilmu-ilmu yang mereka inginkan. Itulah makar dan tipu daya musuh untuk menghancurkan kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Rabbmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. [al-Baqarah/2 : 105].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari makar dan tipu daya orang kafir dengan firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُون
Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. [al-Anfâl/8 : 36].
Akan tetapi, sungguh musuh-musuh Islam itu akan terkalahkan. Tetapi kapankah mereka dapat dikalahkan? Jawabanya, yaitu jika kaum muslimin tetap konsisten dengan perintah dan larangan Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berusaha menerapkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kehidupan mereka, dan selalu berhati-hati dengan makar mereka.
Anak-anak kaum muslimin adalah tumpuan untuk masa yang akan datang. Merekalah yang akan membawa panji Islam. Semua itu akan terwujud, apabila pendidikan yang benar dimulai semenjak dini, dan yang paling berperan ialah orang tua dan guru. Sungguh, generasi yang shâlih akan mendatangkan manfaat, khususnya bagi kedua orang tuanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila salah seorang meninggal maka akan terputus semua amalannya, kecuali tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya. [HR Muslim].
Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memegang amanah yang agung ini. jagalah anak-anak, para pemuda kita dari api neraka Jahannam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66 : 6].