BAGAIMANA CARA ALLÂH SUBHANAHU WA TA'ALA MENJAGA DAN MEMELIHARA AS-SUNNAH ?
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Sebagai seorang Muslim kita wajib meyakini bahwa semua yang ada dalam
al-Qur'an itu adalah haq, baik berupa kabar maupun janji-janji dan
ancaman. Termasuk diantaranya adalah janji Allâh Azza wa Jalla untuk
menjaga keaslian agama ini, dengan menjaga keaslian sumbernya yaitu
al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya [al-Hijr/15:9]
Penjagaan terhadap al-Qur’ân dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap
hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .-red
Kita sudah meyakini hal ini, namun terkadang ada pertanyaan yang
dimunculkan oleh orang-orang tertentu dengan berbagai maksud dan tujuan.
Diantara pertanyaan itu, "Bagaimana cara Allâh menjaga dan memelihara
as-Sunnah ?" Jika pertanyaan ini dilontarkan kepada saya, maka saya akan
memberikan jawaban yang sangat mendasar sekali dari para Ulama’ ialah :
Pertama : Allâh Azza wa Jalla telah memberikan kepada umat ini sebuah
ilmu yang sangat besar lagi sangat agung yang telah menjadi kekhususan
bagi umat ini. Karena memang Allâh Azza wa Jalla tidak pernah
memberikanya kepada umat umat sebelum umat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Ilmu ini menjadi kemuliaan secara khusus bagi umat
ini. Ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu sanad atau isnad. Sebuah ilmu
untuk mengetahui secara bersilsilah atau berantai jalanya orang-orang
yang meriwayatkan suatu riwayat dari fulan ke fulan dan seterusnya.
Sehingga dengan sebab isnad dapat dibedakan dengan jelas dan terang
antara ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; Antara yang disandarkan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan yang disandarkan kepada selain
beliau n seperti yang disandarkan kepada para shahabat atau tâbi’în atau
tâbi’ut tâbi’în dan seterusnya. Apabila sebuah riwayat tidak ada sanad
atau isnadnya maka para imam ahli hadits seperti Bukhâri dan lain lain
akan menolaknya dan tidak mau menerimanya. Dan mereka mengatakan bahwa
riwayat ini tidak ada asal asulnya dan dimasukkan ke dalam golongan
hadits-hadits palsu.
Oleh karena itu dahulu para Ulama’ kita
mengatakan – dan perkataan mereka ini merupakan kaidah yang sangat besar
dalam Islam tentang ilmu riwayat atau naql. Abdullah bin Mubârak
rahimahullah mengatakan :
اْلإسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Isnad itu bagian dari agama. Kalau sekiranya tidak ada isnad, niscaya
siapa saja dapat mengatakan apa saja saja yang ia mau katakan [Riwayat
Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahîhnya]
Ya benar, kalau
sekiranya tidak ada isnad, pastilah siapa saja dapat mengatakan apa yang
dia mau katakan. Jika demikian, kita pasti tidak dapat membedakan mana
yang hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mana yang bukan ?
Manakah riwayat-riwayat yang sah dan manakah riwayat-riwayat yang lemah
atau sangat lemah atau bahkan palsu ?
Kemudian, siapakah yang
meriwayatkannya ?Apakah yang meriwayatkannya orang-orang yang terpercaya
dalam masalah agama dan ilmunya ? Ataukah riwayat itu datang dari
orang-orang yang fasiq, atau dari para pembohong yang biasa berbohong,
atau dari para pemalsu hadits yang dengan sengaja memalsukan hadits atas
nama Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seterusnya
dalam segala cabang ilmu yang sampai kepada kita dengan jalan berita
atau riwayat. Semuanya terjawab dengan ilmu yang mulia ini, yang menjadi
kekhususan bagi umat ini. Oleh karena itu, ilmu hadits dan ahli hadits
demikian mulianya. Namun sedikit sekali orang yang mengetahuinya,
mempelajarinya dan mengajarkannya sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam
Bukhâri amîrul Mukminîn fil hadits dalam sebuah perkataan emasnya yang
akan datang insyâ Allâhu.
Kedua : Allâh Azza wa Jalla telah
memberikan ilmu hadits yang sangat besar dan sangat mulia kepada
sebagian Ulama kemudian membangkitkan mereka untuk memeriksa setiap
riwayat atau hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Merekalah, para imam ahli hadits yang sangat terhormat dan
mulia kedudukan mereka dalam Islam. Karena merekalah yang dimaksud oleh
Nabi yang mulia n atau yang mengambil bagian terbesar dari yang
dimaksudkan beliau thâ’ifah manshûrah. Madzhab mereka terkenal dengan
madzhab ahlu hadits, baik secara aqidah maupun fiqh dan seterusnya.
Karena yang mereka ikuti tidak lain melainkan sunnah Nabi yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apabila hadits yang sampai kepada mereka
telah sah, maka itulah madzhab mereka sebagaimana telah ditegaskan oleh
imam Syâfi’i rahimahullah , salah seorang pembesar ahli hadits yang
dijuluki sebagai nâshirus sunnah (pembela sunnah). Apa yang saya katakan
ini pada hakikatnya adalah perkataan para Ulama’ kita yang dahulu
sebagaimana yang telah di tegaskan oleh imam Bukhâri t dalam sebuah
perkataan emasnya, "Kaum Muslimin yang paling utama ialah seorang yang
menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah mati. Maka bersabarlah wahai ahli hadits ,
semoga Allâh merahmati kamu, karena sesungguhnya (jumlah) kamu adalah
yang paling sedikit di antara manusia" [1]
Seorang penyair pernah mengatakan tentang ahli hadits (yang artinya) :
Sesungguhnya kami dahulu menghitung mereka (ahli hadits) sangat sedikit sekali.
Maka seseungguhnya sekarang mereka lebih sedikit dari yan paling sedikit”
Oleh karena itu di bawah ini saya ingin menerangkan sebagian dari para
ahli hadits, yaitu ahli jarh wat ta’dîl, yang perkataan mereka menjadi
dasar dan hujjah yang kuat. Kemudian dari mereka, kita mengetahui mana
rawi yang tsiqah dan dha’îf dan seterusnya.
Diantaranya seperti
Sa’îd bin Musayyab, Sa’îd bin Zubair, Abdurrahman bin Hurmuz yang
terkenal dengan nama al-A’raj, Abu Shâlih Dzakwân as-Sammân, Hasan bin
Abi Hasan yang terkenal dengan nama Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirin,
Anas bin Sirin, Abul ‘Aliyah ar-Riyâhi yang namanya Rufai’ bin Mahrân,
Mâlik bin Dinar, Amir bin Syarâhîl yang terkenal dengan nama asy-Sya’bi,
Ibrahim bin Yazid bin Qais al-Aswad yang terkenal dengan nama Ibrahim
an-Nakhâ’i, Masrûq bin al-Ajda’ bin Mâlik, Rabi’ bin Hutsaim Abu Zaid,
Hammad bin Abi Sulaiman, Sa’ad bin Ibrahim az-Zuhri, Muhammad bin Muslim
az-Zuhri yang terkenal dengan nama az-Zuhri atau Ibnu Syihab, Ayyub bin
Abi Tamimah as-Sakhtiyâni yang terkenal dengan nama al-A’mâsy. Mereka
semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’în, baik
tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi'în besar) seperti Sa’id bin
musayyab; Atau tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’în yang
sedang atau tengah-tengah) seperti Hasan al-Bashri; Atau tâbi’în dari
thabaqah shughra (tingkatan tâbi’în yang kecil) seperti al-A’masi.
Kemudian thabaqah yang sesudahnya seperti Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan
bin Said ats-Tsauriy yang terkenal dengan nama Sufyan ats-Tsauriy atau
ats-Tsauriy saja, Abdurrahman bin Amr al-Auzâ’i yang terkenal dengan
nama al-Auzâ’i, Mâlik bin Anas yang terkenal dengan nama Mâlik bin
al-Imâm, Husyaim bin Basyîr, Sufyân bin ‘Uyainah, Yahya bin Said
al-Qahthân, Abdullâh bin Mubârak, Waki’ bin Jarrah, Abdurrahman bin
Mahdi, Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i dan yang selain mereka banyak
sekali. Semua yang saya sebutkan di atas adalah dari kalangan tâbi’ut
tâbi’în, baik tâbi’ut tâbi’în dari thabaqah kubra (tingkatan tâbi’ut
tâbi’în besar) seperti Sufyân ats-Tsauriy dan Imam Mâlik; Atau tâbi’ut
tâbi’în dari thabaqah wustha (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang sedang atau
tengah-tengah) seperti Sufyân bin ‘Uyainah; Atau tâbi’ut tâbi’în dari
thabaqah shughra (tingkatan tâbi’ut tâbi’în yang kecil) seperti Imam
asy-Syâfi’i.
Kemudian thabaqah yang sesudah tâbi’ut tâbi’în,
yaitu yang mengambil hadits dari tâbi’ut tâbi’în, mereka tidak bertemu
dengan Tâbi’în, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ali bin Abdullah bin
Ja’far al-Madîni yang terkenal dengan nama Ali bin Madini, Yahya bin
Ma’în, Abdurrahman bin Ibrahim ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama
Duhaim, Ishaq bin Ibrahim ar-Râhuwaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Amr
bin Ali al-Fallâs dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian
thabaqah yang sesudahnya yaitu yang mengambil dari mereka seperti
Muhammad bin Ismail al-Bukhari yang terkenal dengan al-Imam al-Bukhari,
juga Imam Muslim, Abu Zur’ah ‘Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Râzi,
Muhammad bin Idris Abu Hatim ar-Râzi, Abu Dawud dan yang selain mereka
banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu
Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Ibnu Mâjah, Abu Ya’lâ
al-Maushiliy dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian
thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Khuzaimah, Ibnu Jarîr
ath-Thabari, ad Dulâbi, Zakariya bin Yahya as-Sâji, Ibnul Jârud dan yang
selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaiu ath-Thahâwi, al-‘Uqaili, Ibnu Abi Hâtim dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu Ibnu Hibbân, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Adi dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu ad-Daraquthniy, al-Hâkim, Ibnu Syâhin dan yang selain mereka banyak sekali.
Kemudian thabaqah yang sesudah mereka yaitu al-Baihaqi, al-Khathîb
al-Baghdadi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan yang selain mereka banyak
sekali.
Kemudian Imam Ibnul Jauzi, Imam al-Mundziri, Imam an-Nawawi, dan yang selain mereka banyak sekali [2].
Kemudian Imam al-Mizzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabi,
al-Birzâli, Ibnu Qayyim, Ibnu Abdil Hâdi, Ibnu Katsîr. Mereka ini adalah
guru dan murid yang berkumpul di madrasah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
Kemudian Imam Ibnu Rajab al-Hambali, Imam al-‘Irâqi (guru al-Hafidz Ibnu Hajar), Imam az-Zailâ’i, Imam al-Haitsami.
Kemudian al Hafidz Ibnu Hajar, Imam al ‘Ainiy dan lain-lain.
Kemudian Imam As Suyuthi dan lain-lain. Kemudian yang selain mereka
dari zaman ke zaman. Kemudian yang ada pada zaman kita ini adalah dua
orang Imam ahli hadits besar, mujtahid mutlak, Imam ahli jarh wat ta’dil
yaitu Syaikhul Imam Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir dan Syaikhul Imam
Muhammad bin Nashiruddin al-Albâni.
Perkataan para Imam ahli
hadits yang saya sebutkan di atas dari tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în dan
thabaqah yang sesudahnya dan seterusnya semuanya dalam rangka membela
dan mempertahankan Sunnah dan Hadits Nabi yang mulia n agar tidak
dimasuki sesuatu yang bukan dari beliau n , baik dengan sengaja seperti
perbuatan para pendusta dan pemalsu hadits, atau di sebabkan karena
kekeliruan dan berbagai sebab lainnya. Mereka telah memberikan pujian
(ta’dîl) dan celaan (jarh) terhadap rawi-rawi hadits, mana diantara
mereka yang tsiqah (terpercaya dalam agamanya dan ilmunya) dan mana yang
lemah (dha’if) dengan berbagai macam cabang kelemahannya; misalnya
kelemahan seorang rawi dimulai dari yang paling parah yaitu para
pendusta yang telah memalsukan hadits-hadits atas nama Nabi kita yang
mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mereka yang biasa
berbohong di dalam pembicaraannya. Kemudian mereka yang fasiq yang
mengerjakan dosa-dosa besar, selanjutnya para pengikut hawa nafsu dari
ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya. Kemudian dari jurusan
hafalannya, apakah sering salah, waham dan buruk hafalannya dan
seterusnya.
Semua yang mereka sampaikan itu kembali kepada satu
tujuan yaitu pembelaan serentak secara besar-besaran terhadap sunnah
Nabi yang mulia n . Dengannya kaum Muslimin dapat mengetahui dengan
jelas dan terang, apakah hadits tersebut sah atau tidak ?
MEMBELA SUNNAH ADALAH JIHAD[3]
Ketahuilah wahai saudaraku, membela dan mempertahankan Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jihad yang besar, khususnya pada
zaman kita sekarang ini. Kalau Yahya bin Ma’in seorang amirul Mukminîn
fil hadits, Imamnya jarh wat ta’dil saja telah mengatakan pada zaman
beliau masih hidup (beliau wafat pada tahun 233 H), "Mempertahankan dan
mengadakan pembelaan terhadap Sunnah (Nabi) lebih utama dari jihad fi
sabilillah (perang).”
Lalu, sekarang … pada zaman ini … Apakah yang akan kita katakan setelah berlalu tiga belas abad dari zaman Ibnu Ma’in ?!
Sekarang, simaklah dan perhatikanlah baik-baik sedikit dari sekian
banyak pekataan para imam dalam menyingkap keadaan rawi, mana yang
tsiqah dan mana yang dha’if ?
1. Abdullah bin Mubârak seorang
tâbi’ut tâbi’în amîrul Mukminin fil hadits pernah menerangkan keadaan
seorang (rawi), lalu beliau rahimahullah berkata, “Dia itu seorang
pembohong.” Kemudian beliau ditegur oleh seorang laki-laki, “Wahai Abu
Abdirrahman, kamu telah melakukan ghibah (menggunjing)!”
Abdullâh
bin Mubârak kemudian mejawab dengan jawaban yang patut dicatat dengan
tinta emas, karena jawaban beliau dikemudian hari menjadi kaidah umum
tentang ilmu jarh wat ta’dil, "Diamlah engkau! Apabila kami tidak
menjelaskan (keadaan rawi), bagaimanakah dapat diketahui yang haq dari
yang bathil?”
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Mubârak pernah
menerangkan keadaan seorang rawi yang bernama al-Mu’alla bin Hilal,
sebagai seorang pembohong. Lalu sebagian dari kaum sufiyyah telah
menegur beliau, "Hai Abu Abdirrahman, engkau telah melakukan ghibah!"
Kemudian Abdullah bin Mubarak menjawab seperti di atas.
2.
Kemudian dari Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal yang dijuluki oleh para
Ulama sebagai Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pernah ditanya oleh seorang
yang bernama Muhammad bin Bundar, "Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya
sangatlah memberatkan saya untuk mengatakan bahwa si fulan itu adalah
seorang pendusta ?”
Imam Ahmad menjawab dengan jawaban yang sama
dengan jawaban Abdullah bin Mubarak yang patut dicatat dengan tinta
emas, karena jawaban beliau menjadi kaidah umum tentang ilmu jarh wat
ta’dil, "Apabila engkau diam dan akupun diam (dari menjelaskan
tercelanya seorang rawi demikian juga ta’dilnya), maka kapankah orang
yang jahil dapat mengetahui (hadits) yang shahih dari (hadits) yang
sakit (dha’if).”
Dan perbuatan ini bukanlah ghibah sebagaimana
telah dituduhkan oleh orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu yang
mulia ini. Karena tujuan atau maksud dari para Imam ahli hadits dalam
menjarh rawi adalah menyampaikan nasehat demi membela dan menjaga agama
Islam agar tidak kemasukan sesuatu yang tidak berasal dari Agama.
Ibnu ‘Ulayyah pernah berkata tentang jarh (menerangkan cacat dan cela
seorang rawi hadits), "Sesungguhnya ini adalah amanat bukan ghibah.”
Abu Zur’ah ad-Dimasyqi pernah mengatakan, "Aku pernah mendengar Abu
Mushir ditanya tentang keadaan seorang rawi yang salah dan waham serta
tashhif (salah tulis dalam hadits) ? Beliau menjawab, “Jelaskanlah
keadaannya !” Lalu aku bertanya kepada Abu Mushir, “Apakah kamu
menganggap yang demikian itu perbuatan ghibah ?” Beliau menjawab,
“Tidak.”
Abdullah bin Ahmad bin Hambal mengatakan, "Abu Turab
an-Nakhsyabiy pernah datang menemui bapakku (Imam Ahmad bin Hanbal),
lalu bapakku mulai (menjelaskan keadaan rawi dengan) berkata bahwa, “Si
fulan dha’if (lemah), sedangkan si fulan tsiqah (terpercaya).”
Lalu Abu Turab menegurnya, “Wahai Syaikh, janganlah engkau mengghibahkan
Ulama !” Kemudian bapakku menoleh kepadanya dan menjawab, "Kasihan kau !
Ini nasehat bukan ghibah.”[4]
Semua ini berpulang kepada satu
kaidah besar dalam Islam, yaitu memulangkan sesuatu kepada ahlinya.
Orang yang tidak ahli tidak boleh dan tidak dibenarkan berbicara tentang
sesuatu disiplin ilmu yang ada dalam Islam. Karena hal itu akan
menimbulkan kerusakan di atas kerusakan yang bertumpuk. Atau paling
tidak kerusakannya jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya. Ini kalau
kita perkirakan ada kemanfaatannya. Bagaimana halnya kalau semuanya
adalah kerusakan dan kebinasaan !!! Kewajiban bagi orang yang tidak atau
belum tahu adalah bertanya kepada ahlinya, bukan membantahnya atau
menegurnya seperti orang yang menegur amîrul Mukminin fil hadits
Abdullâh bin Mubârak dan Imam Ahmad bin Hambal ketika keduanya sedang
menjelaskan mana rawi yang tsiqah dan mana rawi yang dha’if. Karena
kebodohan yang mereka diamkan, lalu mereka menuduh para Imam ahli hadits
telah mengghibahkan manusia khususnya para Ulama !? Padahal perbuatan
itu bukanlah ghibah!!! Akan tetapi sebuah nasehat Agama yang sangat
besar sekali manfaatnya demi memelihara, menjaga serta mempertahankan
Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuat iblis
bersama bala tentaranya dan para pengikutnya dari para pemalsu hadits
terkapar tidak berdaya berhadapan dengan para mujahid besar para Imam
ahli hadits. Para Imam itu telah menghabiskan umur mereka untuk membela
dan mempertahankan Sunnah Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Amat menakjubkan dan mengharukan saya apa yang telah
dilakukan oleh seorang ahli hadits besar pada abad ini tanpa khilaf
lagi, bahkan saya kira tidak berlebihan kalau saya sering mengatakan dan
menjuluki beliau sebagai seorang amirul Mukminin fil hadits pada abad
ini, yaitu Muhammad Nashiruddin al-Albani. Beliau telah mentahqiq dan
mentakhrij ulang kitab Targhîb wat Tarhîb karya besar al-Imam
al-Mundziriy pada usia delapan puluh lima tahun sebagaimana beliau
jelaskan sendiri di muqaddimah Shahih Targhib Wat Tarhib (hlm. 12).
Saya katakan seperti itu tidaklah dengan serta merta, bukan taqlid buta
seperti orang yang sedang memuji dan menyanjung seseorang padahal dia
tidak mengetahui keadaan orang yang dipuji dan disanjungnya !!! Tetapi
saya mengatakan seperti ini setelah saya mengadakan penelitian dan
pendalaman yang terus-menerus dan berkepanjangan dalam safar ilmiyyah
yang sangat melelahkan melihat kepada metoda takhrîj Syaikh Albani lebih
dari seperempat abad lamanya. Kalau saudara bertanya kepada saya,
misalnya tentang sebuah hadits, apakah hadits tersebut telah disahkan
oleh al-Albani atau tidak ? Apakah hadits tersebut ada di kitab
al-Albani dan di kitabnya yang mana? Tentu sebagiannya atau bahkan
sebagian besarnya saya jawab, "Tidak tahu!" Tetapi kalau saudara
bertanya kepada saya tentang metoda takhrîj hadits Albani dan ilmu
hadits beliau yang demikian tingginya, maka –insyâ Allâhu Ta’ala- saya
mampu menjawab sebagiannya atau sebagian besarnya, baik secara umum
metoda takhrij hadits di kitab-kitab beliau yang ada pada saya dan dapat
saya pelajari maupun secara khusus perkitab seperti Irwâ’ atau Silsilah
dan lain-lain. Tetapi ingat! Kita tidak pernah memalaikatkan Albani
sebagaimana pernah dituduhkan seperti itu kepada kami oleh seorang yang
telah membantah imam besar ini tanpa ilmu kecuali memuntahkan apa yang
ada padanya.
Ketahuilah! Ini adalah sebuah penelitian dari
Diraasah ilmiyyah bukan taqlid. Karena saya –insyâ Allâh - bukanlah
muqallid bagi salah seorang imam atau salah satu madzhab. Karena memang
demikianlah manhaj ilmiyyah para imam ahli hadits termasuk al-Albani
pada abad ini. Meskipun kita mengetahui secara pasti bahwa beliau adalah
imam besar seperti saudara-saudaranya sesama Ulama yang dapat salah dan
benar karena tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Begitulah para Imam ahli hadits dari zaman ke
zaman sampai tubuh mereka yang telah tua renta tidak sanggup lagi
membawa ilmu mereka. Dan itulah salah satu contoh dari seorang imamul
jarh wat ta’dil pada abad ini Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani semoga
Allâh mengampuninya dan merahmatinya dan memasukkannya ke dalam surga
firdaus. Alangkah besar pembelaannya terhadap hadits Nabi yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Bagaimana dengan para Imam ahli
hadits sebelumnya seperti al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah, yang
dikatakan bahwa para wanita tidak sanggup lagi melahirkan anak yang
sepertinya.
Kemudian bagaimana dengan adz-Dzahabiy Syaikhul jarh
wat ta’dil. Al-Hâfidz Ibnu Hajar pernah meminum air zamzam memohon
kepada Allâh Azza wa Jalla martabat hapalan seperti Imam adz-Dzahabi.
Dan Dzahabiy sendiri pernah mngatakan dalam sebuah kitabnya setelah
beliau menjelaskan thabaqatul muhadditsin (tingkatan para ahli hadits)
mutaqaddimin (yang terdahulu), “ Bahwa orang yang kecil hapalannya pada
zaman mereka adalah orang yang palingh hafizh pada zaman kita!!!” (yakni
pada zaman Dzahabiy). Padahal Dzahabiy pernah mengatakan tentang
keutamaan gurunya yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kalau ada hadits
yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyyah maka bukanlah hadits. Sebuah
pujian yang benar bukan omong kosong. Pujian yang beralasan bukan isapan
jempol. Pujian yang nyata bukan hayalan. Adz Dzahabiy sungguh telah
menyaksikan Syaikhul Islam dengan mata kepalanya akan ketinggian ilmu
haditsnya yang tidak ada tandingannya yang telah diakui kealimannya oleh
kawan maupun lawan, baik yang se zaman maupun yang sesudahnya. Meskipun
demikian Dzahabiy mengatakan, “Bahwa orang yang kecil hapalannya pada
zaman mereka adalah orang yang palingh hafizh pada zaman kita!!!”....
Allahu Akbar !!!
Kita kembali ke pokok pembahasan.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa mengambil sesuatu dari ahlinya
merupakan salah satu kaidah besar dalam Islam yang telah ditinggalkan,
terutama pada zaman kita sekarang ini. Lebih khusus lagi dalam masalah
hadits, sebuah masalah besarnya karena berfungsi sebagai penafsir
al-Qur’an. Sehingga mustahil bagi seseorang untuk memahami al-Qur’ân
tanpa as-Sunnah atau Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla berikut ini :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (tentang nabi
dan kitab-kitab) jika kamu tidak mengetahui, [An-Nahl/16:43]
Juga
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sesungguhnya
al-Qur'ân ini tidak turun untuk mendustakan sebagian (ayat)nya dengan
(ayat) lainnya, bahkan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Maka
apa yang kamu ketahui, amalkanlah ! Dan apa-apa yang tidak kamu ketahui,
maka kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya (yang alim tentang
al-Qur'ân)”.
Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Mâjah dan lain-lain.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan kaidah besar
dalam masalah keharusan mengembalikan segala permasalahan kepada
ahlinya. Sekarang kita sedang berbicara tentang jarh wa ta’dîl (celaan
dan pujian terhadap rawi hadits) dan yang berhubungan dengannya, maka
kewajiban kita adalah mengembalikan masalah ini kepada ahlinya, bukan
kepada orang yang tidak tahu. Dari sini kita mengetahui, siapa saja yang
berbicara tentang hadits sementara dia bukan ahlinya ,maka wajib
ditolak dan tidak boleh diterima sama sekali serta wajib diumumkan di
hadapan manusia bahwa dia orang yang tidak tahu menahu tentang hadits.
Perhatikalah beberapa atsar di bawah ini !
a. Dari Abu Abdirrahman as-Sulamy (dia berkata), "Bahwasannya Ali
pernah mendatangi seorang qadhi lalu bertanya kepadanya, “Apakah engkau
mengetahui nâsikh dan mansûkh ?” Qadhi menjawab, "Tidak.” Kemudian Ali
Radhiyallahu anhu berkata, "(berarti) Engkau telah binasa dan
membinasakan (orang).” [Riwayat Baihaqi dalam kitab sunannya ,10/117]
b. Dari Mis’ar, ia berkata, "Aku pernah mendengar Sa’ad bin Ibrahim
berkata, 'Tidak boleh menceritakan dari Rasûlullâh kecuali orang-orang
yang tsiqah (terpercaya).” [Riwayat Imam Muslim dalam muqaddimah
Shahihnya (1/11-12)]
c. Abu Zinâd mengatakan, "Aku jumpai di
Madinah seratus orang, semuanya orang-orang yang amanat, (akan tetapi)
tidak satupun hadits diambil dari mereka, dikatakan bahwa mereka bukan
ahlinya (yakni bukan ahli hadits)”. [Riwayat Muslim di muqaddimah
Shahihnya (1/11)]
d. Dari Sulaiman bin Musa , dia berkata, "Aku
bertemu dengan Thawus, lalu aku berkata kepadanya, 'Si fulan telah
menceritakan kepadaku (hadits) ini dan itu, ((Bolehkah aku menerima
riwayatnya) ?'
Thâwus menjawab, "Jika temanmu itu seorang rawi
tsiqah, maka terimalah riwayat darinya.” [Riwayat Muslim di muqaddimah
Shahîhnya (1/11)]
e. Berkata Yahya bin Sa’id (al Qaththan), "Aku
pernah bertanya kepada Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah, Malik dan Ibnu
Uyainah tentang seorang Rawi yang tidak tsabit (tidak kuat atau lemah)
dalam (riwayat) haditsnya. Kemudian datang seorang kepadaku bertanya
tentang orang tersebut (yakni tentang rawi yang dha’if itu, apakah boleh
aku kabarkan kepadanya bahwa rawi tersebut dha’if) ?”
Jawab mereka,
"Kabarkan kepadanya bahwa orang tersebut tidak tsabit (tidak kuat).”
[Riwayat Muslim di muqaddimah Shahîhnya (1/13)]
f. Berkata Imam Malik, "Ilmu itu tidak boleh diambil kecuali dari ahlinya”. (Rijâlul Muwaththa’ oleh Imam Suyuthi)
Ayat al-Qur’an dan hadits di atas serta beberapa atsar dari shahabat, tâbi’în dan tâbi’ut tâbi’în menjelaskan kepada kita :
Pertama : Memulangkan segala sesuatu kepada ahlinya, khususnya dalam urusan hadits yang merupakan masalah besar.
Kedua : Ttidak boleh menceritakan dari Rasulullah kecuali orng-orang
yang tsiqah. Tsiqah artinya adil dan Dhabith. Adil ialah orang yang baik
agamanya, bukan orang fasiq dan tidak taat. Sedangkan dhabith ialah
hafal hadits, baik hafalan luar kepala ataupun hafalan kitab, serta dia
ahli dalam hadits, sebagaimana telah saya terangkan di kitab Mushtalahul
hadits.
Ketiga : Hadits tidak boleh diterima dari orang yang bukan ahlinya bahkan wajib ditolak.
Keempat : Wajib mengumumkan orang-orang yang dha'if dan bodoh dalam
hadits terlebih para ahli bid’ah yang senantiasa menentang hadits.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Jami' li Akhlaqir Raawi wa Adabis Sami' oleh Imam al-Khathib
al-Baghdadi 1/168, ditahqiq oleh Doktor Muhammad Ajaaj al-Khathib
[2]. Bacalah muqaddimah al-Kamilfi Dhu'afaair Rijal oleh Ibnu 'Adi
ak-Mu'in fi Thabaqatil Muhadditsin oleh Imam adz-Dzahabi; Muqaddimah
Taqribut Tahdzib oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan muqaddimah al-Jarhu wat
Ta'dil oleh Imam Abi Hatim
[3]. Sub judul ini dari redaksi
[4].
Semua riwayat diatas telah dijelaskan oleh Imam al-Khatib Baghdadi
dalam kitab al-Kifaayah fi 'Ilmir Raayah. Lihat Syarah 'Ilal Tirmidzi
oleh Ibnu Rajab 1/46 dan seterusnya ditahqiq oleh Doktor Nuruddin 'Itr.
BAHASAN :
HomeAdab Dan PerilakuAhkamAhkam : HududAkhlakAktualAktual :
WahhabiAl-IlmuAl-Ilmu : Qawaid FiqhiyahAl-Masaa'ilAl-Masaa'il : Dialog
Pemikiran-1Al-Masaa'il : Dialog Pemikiran-2Al-Masaa'il : Dialog
Pemikiran-3Al-Masaa'il : JihadAl-Masaa'il : PolitikAl-Masaa'il :
PropagandaAl-Masaa'il : TerorismeAl-Qur'anAl-Qur'an : IlmuAl-Qur'an :
TafsirAlwajiz : Haji & UmrahAlwajiz : Hukum & PidanaAlwajiz :
JenazahAlwajiz : Jual BeliAlwajiz : MakananAlwajiz : NikahAlwajiz :
PuasaAlwajiz : ShalatAlwajiz : Shalat SunnahAlwajiz : Sumpah &
JihadAlwajiz : ThaharahAlwajiz : Wasiat & WarisAlwajiz :
ZakatBahasan : AqidahBahasan : Asmaaul HusnaBahasan : AssunnahBahasan :
Bai'atBahasan : Bid'ahBahasan : Hadits (1)Bahasan : Hadits (2)Bahasan :
ManhajBahasan : Sirah NabiBahasan : SyakhshiyahBahasan : TauhidBahasan :
Uswah NabiDakwahDakwah : FiraqDakwah : HizbiyyahDakwah : Kepada
KafirDakwah : Nahi MungkarDakwah : Perpecahan !Dakwah : SyubhatFiqih :
Bisnis & RibaFiqih : Haji & UmrahFiqih : Hari RayaFiqih :
Jenazah & KematianFiqih : Jual BeliFiqih : Kurban & AqiqahFiqih :
MakananFiqih : MediaFiqih : NasehatFiqih : NikahFiqih : Nikah &
TalakFiqih : PuasaFiqih : Puasa SunnahFiqih : ShalatFiqih : Shalat
Jum'atFiqih : SumpahFiqih : Waris & WaqafFiqih : ZakatFokus :
FatawaFokus : MabhatsFokus : WaqiunaKitab : Al-Ushul Ats-TsalatsahKitab :
Aqidah (Syarah Aqidah ASWJ)Kitab : As-SunnahKitab : Dasar IslamKitab :
Hari Kiamat (1)Kitab : Hari Kiamat (2)Kitab : Kunci RizkiKitab : Manhaj
SalafKitab : Nikah - SakinahKitab : Nikah Beda Agama?Kitab : Nikah Dari A
- ZKitab : Puasa NabiKitab : Qadha & QadarKitab : Rifqon Ahlus
SunnahKitab : Shalat TahajjudKitab : Tanya Jawab Al-Qur'anKitab : Tauhid
Prioritas UtamaRisalah : AnakRisalah : Do'a & DzikirRisalah :
Gambar, MusikRisalah : HukumRisalah : KeluargaRisalah : Orang TuaRisalah
: Pakaian, HiasanRisalah : Rizqi & HartaRisalah : Sakit,
ObatRisalah : Sihir, DukunRisalah : Tazkiyah NufusWanita : Darah
WanitaWanita : Fiqih ShalatWanita : KesehatanWanita : KonsultasiWanita :
MuslimahWanita : ThaharahWanita : Wasiat